Monday, November 7, 2016

Makalah PAK dalam Masyarakat Majemuk

I.      PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa , dan agama. Hal ini membuat Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang majemuk. Dalam konteks kemajemukan yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia, maka kesatuan dan kerukunan menjadi kata kunci yang penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan dan kerukunan dapat kita upayakan melalui toleransi antar umat beragama. Selain itu, mengenal dan memahami agama lain juga sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman. Dialog antar umat beragama juga diperlukan untuk menjaga kesatuan, membina kerukunan serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi, agar nantinya tidak terjadi konflik antar agama.
Sebagai orang Kristen yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita juga hidup dalam bingkai agama Kristen yang terdiri dari berbagai denominasi. Mengenal dan memahami denominasi lain, melakukan dialog serta bertoleransi dengan denominasi lain harus kita upayakan demi tercapainya keesaan dan kerukunan antar gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus. Oleh karena sebagaimana Tubuh Kristus yang adalah satu, gereja-gereja juga harus bersatu dalam suatu wadah Oikumenis.
II.    PEMBAHASAN

A.   Keanekaragaman Gereja di Indonesia
Agama Kristen di Indonesia memiliki banyak denominasi gereja, mulai dari GPI (Gereja Protestan di Indonesia), sampai pada gereja kharismatik. Gereja Protestan di Indonesia merupakan kelanjutan dari Indische Kerk dengan tradisi Kalvinis; mencakup Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), Gereja Protestan Maluku (1935), Gereja Masehi Injili di Timor (1947), Gereja Toraja (1947), Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat (GPIB, 1948), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (1957), Gereja Protestan di Indonesia di Gorontalo (1965), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (1965), Gereja Protestan di Indonesia di Buol/Tolitoli (1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (1966), Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya (1985).[1]
Seiring waktu, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia semakin beraneka ragam. Penyebab yang pertama ialah mekarnya beberapa gereja akibat unsur kesukuan/kedaerahan, selajutnya karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara lahirlah GKPS, GKPI dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, lahirlah AMIN dan ONKP. Di Sulawesi berdiri GKLB dan GPIL. Penyebab lain bertambahnya gereja di Indonesia adalah masuknya atau perluasan pengaruh denimonasi-denominasi jenis kebangunan. Denominasi-denominasi tersebut antara lain kaum Adventis, Baptis, Metodis, Pentakosta dan juga Injili.
Aliran kebangunan ini datang dari negara-negara Anglosaksis, khususnya dari kalangan kebangunan atau evangelical di Amerika Serikat. Ia masuk ke Indonesia dalam wadah denominasi-denominasi baru (Pentakosta dll), tetapi berpengaruh juga dalam gereja-gereja tradisional, khususnya di jemaat-jemaat kota. Wadahnya di sini ialah gerakan kharismatis, kelompok doa, juga buku-buku Kristen yang diterjemahkan dari buku asli berbahasa Inggris dan yang disebarkan dalam jumlah besar oleh berbagai penerbit.  Ajarannya menekankan akan kesalehan yang hangat, penebusan dosa oleh darah Yesus Kristus, dan kesucian hidup, sehingga menyebabkan aliran ini mudah diterima oleh orang-orang Kristen. Namun aliran kebangunan dari Amerika ini tidak menyenangi pola gereja calvinis. Secara khusus mereka menolak kebiasaan membaptis anak-anak orang percaya, maka masuknya aliran tersebut disamping menjadi sebab berdirinya sebuah gereja baru, menimbulkan pula ketegangan di beberapa gereja yang telah berdiri sebelumnya.[2]

B.   Keesaan Gereja di Indonesia
Keesaan gereja di Indonesia diwujudkan dalam gerakan oikumenis oleh gereja-gereja di Indonesia. Sampai sekitar tahun 1850, di Indonesia belum terdapat gerakan oikumenis, sebab belum ada kepelbagaian gereja. Begitu pelbagai gereja lahir, segera pula muncul upaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Hingga perang dunia kedua, usaha-usaha itu diprakarsai dan dilakukan oleh orang eropa. Mula-mula yang diusahakan hanya kerjasama dan pendekatan antara perseorangan. Dalam abad ke-20 mulai dipikirkan pula kerjasama dan kesatuan antara gereja-gereja. Orang Indonesia makin banyak dilibatkan dalam usaha ini, dan sejak tahun 1945 gerakan oikumenis menjadi urusan orang Indonesia sendiri. Wadah oikumenis yang utama dalam lingkungan protestan di Indonesia ialah DGI/PGI. Di samping itu terdapat beberapa badan yang menyatukan gereja-gereja yang berasal dari tradisi Anglosaksis (AS).
Pada tahun 1946-1947 dibentuklah dua dewan yang boleh disebut sebagai Dewan Gereja-gereja Wilayah, yakni “Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DPG) dan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen (MOBK)”. MOBK inilah yang menjadi perintis pembentukan DGI. Pembentukan DGI secara langsung menjadi pokok pembicaraan dalam Sidang Sinode Am GPI yang ke-empat di Bogor (1948). GPI menyatakan mendukung pembentukan majelis Kristen di Indonesia. Dukungannya terbukti dengan terpilihnya sekum MOBGK, Pendeta W. J. Rumambi, menjadi sekum badan pekerja GPI.[3]
Pada Januari 1948, Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan Majelis Gereja-gereja Kristen di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947). Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai. Selanjutnya pada tanggal 6-11 November 1949 diadakan Konperensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di Indonesia.[4]
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta). Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah "Manifes Pembentoekan DGI":
“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950.
Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oemat-Nja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”
Jadi, hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan, dan akhirnya dalam konferensi yang dilaksanakan tanggal 21 - 28 Mei 1950 ini membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia.[5]
DGI/PGI pada hakikatnya menggabungkan gereja-gereja yang dihasilkan oleh karya zending Belanda dan Jerman, di samping gereja-gereja yang berasal dari PGI. Gereja-gereja tersebut berakar dalam tradisi Protestanisme Kontinental. Akan tetapi, dalam abad ke-20 masuklah pula tradisi Protestanisme Anglosaksis (negara-negara berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat), yang diwakili oleh berbagai denominasi: Metodis, Baptis, Adventis, Pentakosta, dan oleh badan-badan antar denominasional, seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF). Gerakan kharismatik yang masuk dalam tahun 1970-an, dapat dipandang pula sebagai cabang Protestanisme Anglosaksis, khususnya Amerika. Di Indonesia, denominasi-denominasi tersebut masing-masing diwakili oleh beberapa gereja, disebabkan perpecahan yang terjadi setelah masuk ataupun karena memang sudah di tanam oleh utusan dari berbagai badan. Kemudian di kalangan mereka juga muncul gerakan menuju kesatuan ataupun kerjasama antara sesamanya. Gerakan itu menghasilkan Persekutuan Injil Indonesia (PII 1972), dan Dewan Pentakosta Indonesia (DPI 1979). PII pada hakikatnya merupakan persekutuan dan tempat kerja sama orang-orang, badan-badan, dan gereja-gereja yang berpaham “injili” (evangelical), yang hendak menghayati hubungan dan kerja sama di dalamnya. Dan DPI dapat dianggap sebagai Dewan Gereja-gereja dari gereja-gereja yang berpaham Pentakosta. Antara PII dan PGI dalam beberapa hal sudah terjalin hubungan dan kerja sama, tetapi DPI belum bersedia melakukan pendekatan. Di pihak lain, beberapa gereja beraliran Pentakosta sudah menjadi anggota PGI. Gereja-gereja Baptis telah mendirikan Gabungan Gereja-gereja Baptis (1971, hanya meliputi sebagian gereja-gereja itu) dan Aliansi Baptis (1981). Gereja Metodis Indonesia pun tidak menjadi anggota PGI, tetapi memelihara hubungan dengan sesama gereja Metodis di luar negeri.[6]

C.   Kesatuan Dalam Kepelbagaian
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat dan agama; sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. yang hidup tersebar dalam ribuan pulau. Di samping keanekaragaman suku bangsa, Indonesia juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai mayoritas. Kita patut bersyukur kepada Tuhan, bahwa bangsa kita yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, dan agama tersebut, dapat bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[7]
Bhineka Tunggal Ika adalah suatu semboyan nasional yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kukuh. Dalam nafas Bhineka Tunggal Ika itu keragaman dipahami sebagai asset yang berharga, sehingga menjadi bagian-bagian indah dalam mosaik keindonoesiaan. Keragaman Indonesia terlihat dengan jelas pada aspek-aspek geografis, etnis, sosio kultural dan agama. Jumlah pulau yang amat banyak, suku-suku dengan bahasa, budaya, adat istiadat dan agama yang berbeda-beda menampilkan kekayaan Indonesia yang tidak ternilai harganya. Kebinekaan yang menjadi warna dari masyarakat dan bangsa Indonesia tetap mampu menonjolkan keikaannya, karena adanya nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa kita, yaitu gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, tenggang rasa, yang kesemuanya memperkukuh semangat toleransi dan kerukunan di kalangan masyarakat dan bangsa kita.[8]
Kesatuan bangsa Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, yang pada tahun 1998 diserukan dalam Seruan Bersama Majelis-majelis Agama di Indonesia, yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parsida Hindu Dharma Indonesia (PARISADA), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), yang tergabung tergabung dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, yang pada poin ketiga berbunyi sebagai berikut:
(3) Kepada seluruh komponen bangsa agar terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, mempertahankan kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke; menggalang kebersamaan serta mewujudkan persaudaraan yang tulus dan sejati tanpa terkotak-kotak oleh sekat suku, agama, ras, dan antar golongan, tidak dipilah-pilah berdasrkan kepentingan golongan, dan ikatan primordial. Seiring dengan itu seluruh komponen bangsa diimbau untuk dapat menahan diri, menciptakan iklim yang kondusif serta menjauhkan diri dari ucapan serta serta sikap yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.[9]
Kesatuan bangsa dan negara harus diusahakan, dipelihara dan diperkembangkan dalam konteks konsensus-konsensus nasional kita. Artinya, kesatuan itu mesti kita laksanakan di dalam mendukung dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Itu berarti kesatuan tidak boleh mengurangi dan membatasi kebebasan beragama, berbudaya dan bernegara, melainkan justru mendukung kebebasan tersebut. Kebebasan harus dalam keseimbangan yang dinamis, maksudnya kebebasan tidak boleh merusak kerukunan, sebaliknya kerukunan tidak boleh mematikan kebebasan. Kesatuan dan persatuan bangsa harus diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak terkotak-kotak atau terpisah-pisah.[10]



III.   PENUTUP

Kesimpulan

Keanekaragaman gereja di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya denominasi gereja ada. Semakin banyaknya denominasi gereja di Indonesia disebabkan oleh unsur kesukuan/kedaerahan dan faktor masuknya denominasi-denominasi kebangunan atau evangelical yang datang dari Amerika Serikat. Semakin banyaknya denominas gereja membuat gereja-gereja di Indonesia berupaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Semua itu baru terwujud pada tanggal 25 Mei 1950, setelah DGI terbentuk.  DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Namun, keesaan itu belum terwujud karena masing-masing aliran gereja membentuk gerakan oikumenis sendiri-sendiri.
Selain memiliki keanekaragaman gereja, Indonesia merupakan masyarakat majemuk. yang beraneka ragam suku bangsa, bahasa dan agama. Kita disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Oleh karena itu, kita wajib terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Heuken. 2004. Ensiklopedi Gereja Jilid 2: C-G. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Van Den End. 2009.  Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
De Jonge. 2014. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sairin, Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.




[1] Heuken, Ensiklopedi Gereja: 2, C-G (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004), hal. 241.
[2] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 357-365.
[3] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 385-386.
[4] De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hal. 86.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia/.
[6] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 392.
[7] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 55-56.
[8] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 14.
[9] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 123-124.
[10] IBID, hal. 138.

No comments:

Post a Comment