Monday, December 14, 2015

Robert Raikes dan Sejarah Sekolah Minggu

Sejarah Perkembangan Sekolah Minggu

A.   Latar Belakang Berdirinya Sekolah Minggu
Sejak dahulu, anak-anak merupakan bagian atau bagian penting dalam gereja Kristen. Sekolah minggu merupakan sarana untuk anak-anak memperoleh PAK (Pendidikan Agama Kristen). Gerakan sekolah minggu dimulai pada tahun 1780 di Gloucester, Inggris oleh Robert Raikes. Sekolah minggu adalah sekolah untuk anak-anak terlantar (“Ragged School”) dimana mereka diajar membaca, menulis dan berhitung.[1]
Tidak ada pokok yang lebih penting yang berkaitan dengan berdirinya Sekolah Minggu daripada pembahasan pokok mengenai Revolusi Industri. Pentingnya pokok ini tampak bila diingat bahwa Sekolah Minggu merupakan salah satu jawaban sederhana terhadap dampak negatif dari revolusi atas diri kaum buruh yang dimulai di Inggris, khususnya para buruh yang masih muda sekali. Para buruh ini merupakan hasil dari “masyarakat mesin” baru.
Berawal dari perkembangan teknologi yang menyebabkan pergeseran tenaga kerja manusia ke tenaga mesin uap. Penemuan mesin uap  yang seharusnya menjadi dampak yang positif ternyata justru sebaliknya. Mungkin bagi para pengusaha hal ini merupakan dampak yang positif namun bagi kaum miskin menjadi suatu dampak yang negatif.
Masa perkembangan ini lebih dikenal dengan istilah “Revolusi Industri” dan revolusi ini berpusat di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Revolusi industri memaksa para orang tua bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan yang lebih menyedihkan ialah anak-anak terpaksa meninggalkan zona yang semestinya mereka berada yaitu sekolah. Karena kebutuhan ekonomi akhirnya para anak-anak bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang minim. Mereka kehilangan masa-masa yang seharusnya mereka bisa bercanda dan bermain bersama keluarga dan teman.
Tentunya hal ini menyebabkan tingkat kriminal di Inggris terus meningkat yang sangat mempengaruhi generasi bangsa. Akan tetapi pada waktu itu pemerintahan di Inggris hanya terfokus pada pemberantasan dan memberikan hukuman tanpa mencari tahu penyebab utamanya. Padahal penyebab utamanya ialah tidak adanya pendidikan anak yang layak. Karena pendidikan anak itu sangatlah penting untuk perkembangan moral dan intelektual bagi si anak itu sendiri.
Kondisi ini membuat hati  seorang pemilik media cetak di Gloucester Inggris tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Ia adalah “Robert Raikes”. Awalnya ia hanya terfokus pada para narapidana yang dipenjara. Karena terlalu tinggi tingkat kriminalnya menyebabkan penjara itu penuh. Raikes mengambil langkah dengan cara melakukan pendekatan langsung dan ia juga mengambil beberapa persen hasil penjualan korannya untuk biaya para narapidana. Bagi Raikes narapidana di Gloucester ini adalah korban atas revolusi industri.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Raikes akan tetapi ia juga melakukan kritik kepada pemerintah melalui surat kabar yang dicetaknya. Bahkan Adam Smith juga meluncurkan kritikan terhadap pemerintah Inggris. Dalam karangannnya yang termasyhur yaitu “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, ia berdalil bahwa kekayaan Inggris terdiri atas tenaga kerja  dan bukan beratnya  emas dan juga tidak pada kekayaan yang berporos pada sejumlah hektar lahan yang dimilkinya. Smith berkata “setiap orang cenderung mencari keuntunganya sendiri”, namun usahanya tetap tidak di perhatikan oleh pemerintah.[2]

B.   Riwayat Robert Raikes
Robert Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun) adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari pasangan Mary Drew dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar di Inggris. Ia dibaptis pada tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester. Pada 23 Desember 1767, ia menikah dengan Anne Trigge, seorang wanita yang berasal dari keluarga terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas tahun, ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan mazmur, doa, renungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, dan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang percetakan. Pada 1757, ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21 tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan Gloucester Journal.
Pada usia mudanya, Robert aktif pada bidang sosial, khususnya menolong mereka yang miskin dan berada di penjara. Untuk menolong mereka, ia melakukan berbagai upaya, antara lain mengumpulkan dana- untuk peningkatan kondisi kesehatan di penjara dan perlakuan yang lebih manusiawi- dan menyelenggarakan pembinaan bagi para napi.[3] Robert Raikes dikenal sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Oleh karena itu, pada hari Minggu, mereka menjadi liar dikarenakan hanya pada hari inilah mereka bisa beriang gembira. Kebanyakan dari mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan hal-hal yang tidak berguna seperti minum-minuman keras.
Melihat keadaan itu, Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780. Di sana, selain mendapat makanan, anak-anak diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Menurut Raikes, buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai adalah Alkitab.
Dalam dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester. Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine, dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley (pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja, mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25 persen dari populasi.[4]
C.   Berdirinya Sekolah Minggu
Pada tahun 1780 Raikes pergi kerumah seorang tukang kebun dan dia melihat kebanyakan pekerjanya adalah anak-anak. Seorang Ibu mengeluhkan kenakalan anak-anak pada hari Minggu, lalu ia memohon dengan sangat agar Raikes berbuat sesuatu. Setelah pulang ke rumah, Raikes mengambil keputusan untuk melakukan percobaan dengan sekolah sederhana bagi anak miskin.
Untuk mendidik anak-anak, Raikes meminta bantuan seorang ibu dan Raikes sendiri yang membayar gajinya. Atas permintaan seorang editor surat kabar yang baik, Robert Raikes, ibu Meredith menerima segerombolan anak jalanan ke dapur rumahnya di Sooty Alley. Raikes bahkan membayar ibu Meredith satu shilling setiap hari Minggu untuk mengajar anak-anak berpakaian compang-camping ini membaca Alkitab dan mengulanginya di luar kepala. Tetapi anak-anak ini luar biasa bandel. Terkungkung di sebuah pabrik yang basah dan gelap di Gloucester, Inggris, selama enam hari dalam satu minggu, mereka hanya dapat kesempatan bergembira ria pada hari Minggu, dan pada hari-hari Minggu itulah mereka menjadi liar. Setiap Minggu para petani dan pemilik toko merasa takut pada kenakalan anak-anak ini. Robert Raikes berharap bahwa “Sekolah Minggu” ini akan mengubah hidup mereka, namun mereka membawa kebiasaan mereka yang menjijikkan dan mengerikan itu ke dapur ibu Meredith. Namun dengan kenakalan anak-anak, ibu ini tidak mampu dan berhenti mendidik anak-anak miskin itu, Ibu Meredith tidak sanggup menanganinya.
Raikes tidak membiarkan niatnya pupus. Ia memindahkan sekolah Minggunya ke dapur Ny. King tempat May Critchley mengajar mereka dari pukul sepuluh sampai pukul dua belas siang dan dari pukul satu sampai dengan pukul lima pada petang hari. Ia menghendaki anak-anak hadir setelah tangan dicuci dan rambut disisir. Dalam waktu yang singkat anak-anak itu mau belajar. Tidak lama kemudian terkumpul sembilan puluh anak menghadiri sekolah Minggu pada setiap hari Minggu. Perlahan-lahan mereka belajar membaca.
Hal ini bukanlah upaya pertama Raikes bagi pembaruan masyarakat. Sebagai seorang Gloucester Journal yang berpikiran liberal, ia sangat sadar akan roda kemiskinan dan kriminalitas. Orang-orang yang tidak dapat membayar utang dipenjarkan dan bila mereka keluar, tidak ada kehidupan bagi mereka. Maka mereka terdorong berbuat kejahatan. Selama bertahun-tahun Raikes berupaya bekerja bersama mantan napi, untuk membantu mereka agar tidak berbuat kejahatan, namun sia-sia.
“Dunia bergerak maju di atas kaki anak-anak kecil.” Kalimat yang berasal dari Raikes itu mengungkapkan pemikiran sekolah Minggu ini. Para orang dewasa telah berjalan terlalu jauh,  tetapi anak-anak baru memulainya.
Masalah yang dihadapinya ialah ketidaktahuan. Anak-anak (dari keluarga) kurang mampu tidak pernah mendapatkan kesempatan pergi ke sekolah mereka harus bekerja untuk membantu keluarga. Akibatnya, mereka tidak dapat beranjak dari kemiskinan. Namun, jika mereka dapat  belajar pelajaran dasarnya membaca, menulis, berhitung dan moralitas alkitabia pada hari libur satu harinya, suatu saat mereka mungkin mengubah semuanya itu.
Jadi, eksperimen itu berawal dari Sooty Alley. Lambat-laun ide ini bertumbuh. Pada tahun 1783, dengan kepercayaan diri bahwa eksperimennya telah berhasil, Raikes mulai mengumumkannya dalam hariannya. Dengan hati-hati ia melaporkan alasan dan hasilnya. Ide tersebut menjadi populer.
Orang-orang Kristen yang terpandang mendukung ide tersebut. John Wesley menyukainya, dan kelompok Wesley pun mulai melakukannya. Penulis populer, Hannah More, mengajar agama dan memintal pada gadis-gadis di Cheddar. Seorang pedagang dari London, William Fox, pernah menyumbangkan ide serupa, namun memutuskan menunjang proyek Raikes. Pada tahun 1785,  Fox mendirikan perkumpulan untuk menunjang dan mendukung banyak sekolah Minggu di berbagai kawasan di Inggris.
Ratu Charlotte pun membenarkan sekolah Minggu tersebut. Ia memanggil Raikes untuk mendengarkan hal itu dan kemudian ia mengizinkan namanya dipakai untuk upaya pengumpulan dana yang dilaksanakan Fox.
Kemasyhuran membawa pertentangan juga dari para konservatif yang takut akan terganggunya hari Sabat oleh para pedagang, yang khawatir akan kehilangan bisnis pada hari Minggu. Ada beberapa teman Raikes yang mengejeknya “Bobby Wild Goose (pengejar sesuatu yang tidak mungkin tercapai) dan Resimen Gembelnya”.
Namun, hingga tahun 1787, ada seperempat juta anak-anak menghadiri sekolah Minggu di Inggris. Lima puluh tahun kemudian, ada 1,5 juta anak di seluruh dunia yang dididik oleh 160.000 tenaga pengajar. Yang menggembirakan ialah perkembangan Manchester pada tahun 1835. Sekolah Minggu tersebut terdiri dari 120 tenaga pengajar, yang 117 di antara mereka adalah mantan murid-murid sekolah-sekolah Minggu itu sendiri.[5]
Dari hasil yang telah dicapai Raikes, ada beberapa pihak yang tidak senang dengan apa yang telah dia lakukan. Misalnya Perdana Menteri Pitt, pemilik pabrik, bahkan dari pihak gereja. Ia juga mendapat kecaman dari pendeta-pendeta. Dalam sejarah PAK, Raikes dihargai sebagai seorang awam dengan hati nurani yang di bentuk oleh hubungannya dengan iman Kristen.[6]
D.   Gambaran Tentang Beberapa Sekolah Minggu Pertama
Tahun 1784, Raikes mencetak peraturan-peraturan bagi  Sekolah Minggu yang disusun oleh Pdt. W. Ellis, yang akan dipakai oleh Sekolah Minggu di Sttroud. Di Boughton, daerah Kent, pembukaan Sekolah Minggu diumumkan dengan tujuan:
                  Untuk membuka peluang pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di daerah ini, tanpa mengganggu pekerjaan mereka pada hari kerja biasa, dan untuk membiasakan anak-anak sejak usia muda untuk selalu beribadah setiap hari Minggu serta menghabiskan jam senggang pada hari Minggu melalui kegiatan yang baik dan teratur. Anak itu akan diajari membaca, mengenal tanggung jawab seorang Kristen, khususnya untuk belajar rajin dan berkelakuan baik sesuai dengan keperluannya sebagai buruh dan pembantu di kemudian hari.
Tahun 1784, di kota Leeds terdapat 26 sekolah dengan 2000 pelajar yang diajar oleh 45 orang guru. Tahun 1785 didirikan The Sunday School Society (Perhimpunan Sekolah Minggu). Selama 10 tahun pertama, perhimpunan itu telah membagi-bagikan 91915 buah buku untuk mengajarkan anak membaca, 24232 buah Kitab PL/PB, dan 5360 Alkitab. Sumbangan itu dipakai oleh 65000 anak-anak yang belajar pada 1012 Sekolah Minggu. Selama 28 tahun berdirinya Sekolah Minggu, ada sekitar 400000 anak didik di Inggris. Kurikulum Sekolah Minggu pada waktu itu antara lain kedisiplinan, membaca, menulis, menghitung, pengetahuan Alkitab, dan pelajaran katekimus.[7]
E.   Pertumbuhan Sekolah Minggu
  1.    Sekolah Minggu di Amerika
Tahun 1790, Benyamin Rush, Matthew Carey dan William White mendirikan Perserikatan Hari Pertama, untuk mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Tahun 1816, Ibu Joanne Bethune mendirikan Perserikatan Wanita bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Tahun 1824, para memimpin Sekolah Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu di Amerika) di kota Philadelphia.
Dalam sidang raya tahun 1830, ditetapkan tujuan yang berlaku untuk dua tahun mendatang, yaitu untuk mendirikan Sekolah Minggu pada setiap pelosok daerah yang luasnya meliputi seluruh lembah Mississippi.Kurikulumnya berupa pelajaran membaca, menulis, dan pelajaran Alkitab. Hasil Pelayanan Union Sunday School antara lain banyak kelompok anak-anak yang diajar membaca, menulis dan belajar Alkitab. Banyak Sekolah Minggu yang bertumbuh menjadi  sekolah negeri dan jemaat yang beribadah.
Ada dua orang pekerja Sunday School yang sangat menonjol dalam mengembangkan Sekolah Minggu. Kedua orang itu adalah John McCullagh dan Stephen Paxson. Selama jangka waktu 20 tahun Stephen Paxson telah mendirikan lebih dari 1200 Sekolah Minggu. Kebanyakan sekolah itu kelak bertumbuh menjadi jemaat.[8]
  2.    Sekolah Minggu di Jerman
Pendirian Sekolah Minggu di Jerman diprakarsai pada tahun 1860 oleh Wilhelm Broeckelmann dan Albert Woodruff. Keduanya adalah wakil dari Perserikatan Sekolah Minggu London. Sekolah Minggu di Jerman hendak mengajar anak-anak miskin untuk membaca, meniulis dan berhitung disamping membimbing mereka ke dalam iman Kristen. Di Jerman, gagasan Sekolah Minggu di-Jermankan menjadi Kindergottesdients (kebaktian anak-anak). Sesuai dengan namanya, maka titik beratnya adalah kebangunan rohani dalam diri anak-anak melalui kebaktian dan bimbingan dari Alkitab.[9]
  3.    Sekolah Minggu di Belanda
Gagasan Sekolah Minggu dibawa oleh Dr. Abraham Capadose ke Belanda dari Swiss, pada bulan Oktober tahun 1836 di kota Grevenhage. Pada tahun 1841 sebuah Sekolah Minggu didirikan di kota Amsterdam dan pada tahun 1847 di kota Rotterdam. Pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 1857, oleh karena keputusan pemerintah Belanda yang melarang penggunaan Alkitab dalam Sekolah Negeri. Awal tahun 1858 sudah ada 50 buah Sekolah Minggu di Belanda. Tanggal 23 Oktober 1865 diadakan mufakat tentang jenis organisasi Sekolah Minggu di Belanda. Organisasi itu di sebut Nederlandse Zondaggschool Vereniging (Perkumpulan Sekolah Minggu Belanda). Akhirnya, jumlah sekolah minggu di Belanda bertambah dan menjadi bagian dari pelayanan gereja.[10]
Melihat keberhasilan Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi pekabaran Injil. Di abad ke-20 muncul bahan mengajar pelajaran sekolah minggu yang berjenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi ajang pembinaan. Gereja memakai pembinaan ini menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan anak-anak kepada Kristus. Akhir abad ke-19 sampai awal ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah minggu secara lebih professional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah “Internasional Sunday School Council of Religious Education”, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi “The Internasional Council of Religious Education”. Dengan berdirinya ke 2 lembaga tersebut, Sekolah minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat pada anak.[11]



DAFTAR PUSTAKA


Ismail, Andar.  2003. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke, Robert. 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kadarmanto, Ruth. 2009. Tuntunlah ke Jalan yang Bena: Panduan Mengajar Anak di Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Curtis, dkk. 2007. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.



[1] Andar Ismail, 2003, Ajarlah Mereka Melakukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), Hal. 7.
[2] Boehlke, 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 375-378.
[3] Kadarmanto R, 2009, Tuntunlah ke Jalan yang Benar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 26.
[4] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 379-390.
[5] Curtis dkk, 2007, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 111-113.
[6] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 390-393.
[7] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 393-398.
[8] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 398-416.
[9] Ibid Hal 417-418.
[10] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 418-421.
[11] Lie Paulus, 2008, Mereformasi Sekolah Minggu, (Bandung: ANDI), hal. 110-111.

No comments:

Post a Comment