Sejarah
Perkembangan Sekolah Minggu
A. Latar
Belakang Berdirinya Sekolah Minggu
Sejak
dahulu, anak-anak merupakan bagian atau bagian penting dalam gereja Kristen.
Sekolah minggu merupakan sarana untuk anak-anak memperoleh PAK (Pendidikan
Agama Kristen). Gerakan sekolah minggu dimulai pada tahun 1780 di Gloucester,
Inggris oleh Robert Raikes. Sekolah minggu adalah sekolah untuk anak-anak
terlantar (“Ragged School”) dimana mereka diajar membaca, menulis dan
berhitung.[1]
Tidak
ada pokok yang lebih penting yang berkaitan dengan berdirinya Sekolah Minggu
daripada pembahasan pokok mengenai Revolusi Industri. Pentingnya pokok ini
tampak bila diingat bahwa Sekolah Minggu merupakan salah satu jawaban sederhana
terhadap dampak negatif dari revolusi atas diri kaum buruh yang dimulai di
Inggris, khususnya para buruh yang masih muda sekali. Para buruh ini merupakan
hasil dari “masyarakat mesin” baru.
Berawal
dari perkembangan teknologi yang menyebabkan pergeseran tenaga kerja manusia ke
tenaga mesin uap. Penemuan mesin uap
yang seharusnya menjadi dampak yang positif ternyata justru sebaliknya.
Mungkin bagi para pengusaha hal ini merupakan dampak yang positif namun bagi
kaum miskin menjadi suatu dampak yang negatif.
Masa
perkembangan ini lebih dikenal dengan istilah “Revolusi Industri” dan revolusi ini
berpusat di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Revolusi industri memaksa para
orang tua bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan yang lebih
menyedihkan ialah anak-anak terpaksa meninggalkan zona yang semestinya mereka
berada yaitu sekolah. Karena kebutuhan ekonomi akhirnya para anak-anak bekerja
di pabrik-pabrik dengan upah yang minim. Mereka kehilangan masa-masa yang
seharusnya mereka bisa bercanda dan bermain bersama keluarga dan teman.
Tentunya
hal ini menyebabkan tingkat kriminal di Inggris terus meningkat yang sangat
mempengaruhi generasi bangsa. Akan tetapi pada waktu itu pemerintahan di
Inggris hanya terfokus pada pemberantasan dan memberikan hukuman tanpa mencari
tahu penyebab utamanya. Padahal penyebab utamanya ialah tidak adanya pendidikan
anak yang layak. Karena pendidikan anak itu sangatlah penting untuk
perkembangan moral dan intelektual bagi si anak itu sendiri.
Kondisi
ini membuat hati seorang pemilik media
cetak di Gloucester Inggris tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Ia adalah
“Robert Raikes”. Awalnya ia hanya terfokus pada para narapidana yang dipenjara.
Karena terlalu tinggi tingkat kriminalnya menyebabkan penjara itu penuh. Raikes
mengambil langkah dengan cara melakukan pendekatan langsung dan ia juga mengambil
beberapa persen hasil penjualan korannya untuk biaya para narapidana. Bagi
Raikes narapidana di Gloucester ini adalah korban atas revolusi industri.
Tidak
hanya itu saja yang dilakukan oleh Raikes akan tetapi ia juga melakukan kritik
kepada pemerintah melalui surat kabar yang dicetaknya. Bahkan Adam Smith juga
meluncurkan kritikan terhadap pemerintah Inggris. Dalam karangannnya yang
termasyhur yaitu “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of
Nation”, ia berdalil bahwa kekayaan Inggris terdiri atas tenaga kerja dan bukan beratnya emas dan juga tidak pada kekayaan yang
berporos pada sejumlah hektar lahan yang dimilkinya. Smith berkata “setiap
orang cenderung mencari keuntunganya sendiri”, namun usahanya tetap tidak di
perhatikan oleh pemerintah.[2]
B. Riwayat
Robert Raikes
Robert
Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun)
adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah
minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari pasangan Mary Drew
dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar di Inggris. Ia dibaptis pada
tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester. Pada 23
Desember 1767, ia menikah dengan Anne Trigge, seorang wanita yang berasal dari
keluarga terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak
perempuan.
Ia
menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt
tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas
tahun, ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini
begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam
pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan
mazmur, doa, renungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut
menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, dan Prancis.
Setelah
menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan
pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang
percetakan. Pada 1757, ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester
Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21
tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan
Gloucester Journal.
Pada
usia mudanya, Robert aktif pada bidang sosial, khususnya menolong mereka yang
miskin dan berada di penjara. Untuk menolong mereka, ia melakukan berbagai
upaya, antara lain mengumpulkan dana- untuk peningkatan kondisi kesehatan di
penjara dan perlakuan yang lebih manusiawi- dan menyelenggarakan pembinaan bagi
para napi.[3] Robert Raikes dikenal
sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis
ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes
melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik
sebagai buruh kasar dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin
hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Oleh karena itu, pada hari Minggu,
mereka menjadi liar dikarenakan hanya pada hari inilah mereka bisa beriang
gembira. Kebanyakan dari mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan
hal-hal yang tidak berguna seperti minum-minuman keras.
Melihat
keadaan itu, Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai
sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780.
Di sana, selain mendapat makanan, anak-anak diajarkan sopan santun, membaca,
dan menulis. Menurut Raikes, buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai
adalah Alkitab.
Dalam
dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester.
Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine,
dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley
(pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja,
mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada
tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25
persen dari populasi.[4]
C. Berdirinya
Sekolah Minggu
Pada
tahun 1780 Raikes pergi kerumah seorang tukang kebun dan dia melihat kebanyakan
pekerjanya adalah anak-anak. Seorang Ibu mengeluhkan kenakalan anak-anak pada
hari Minggu, lalu ia memohon dengan sangat agar Raikes berbuat sesuatu. Setelah
pulang ke rumah, Raikes mengambil keputusan untuk melakukan percobaan dengan
sekolah sederhana bagi anak miskin.
Untuk
mendidik anak-anak, Raikes meminta bantuan seorang ibu dan Raikes sendiri yang
membayar gajinya. Atas permintaan seorang editor surat kabar yang baik, Robert
Raikes, ibu Meredith menerima segerombolan anak jalanan ke dapur rumahnya di
Sooty Alley. Raikes bahkan membayar ibu Meredith satu shilling setiap hari
Minggu untuk mengajar anak-anak berpakaian compang-camping ini membaca Alkitab
dan mengulanginya di luar kepala. Tetapi anak-anak ini luar biasa bandel.
Terkungkung di sebuah pabrik yang basah dan gelap di Gloucester, Inggris,
selama enam hari dalam satu minggu, mereka hanya dapat kesempatan bergembira
ria pada hari Minggu, dan pada hari-hari Minggu itulah mereka menjadi liar.
Setiap Minggu para petani dan pemilik toko merasa takut pada kenakalan
anak-anak ini. Robert Raikes berharap bahwa “Sekolah Minggu” ini akan mengubah
hidup mereka, namun mereka membawa kebiasaan mereka yang menjijikkan dan mengerikan
itu ke dapur ibu Meredith. Namun dengan kenakalan anak-anak, ibu ini tidak
mampu dan berhenti mendidik anak-anak miskin itu, Ibu Meredith tidak sanggup
menanganinya.
Raikes
tidak membiarkan niatnya pupus. Ia memindahkan sekolah Minggunya ke dapur Ny.
King tempat May Critchley mengajar mereka dari pukul sepuluh sampai pukul dua
belas siang dan dari pukul satu sampai dengan pukul lima pada petang hari. Ia
menghendaki anak-anak hadir setelah tangan dicuci dan rambut disisir. Dalam
waktu yang singkat anak-anak itu mau belajar. Tidak lama kemudian terkumpul
sembilan puluh anak menghadiri sekolah Minggu pada setiap hari Minggu.
Perlahan-lahan mereka belajar membaca.
Hal
ini bukanlah upaya pertama Raikes bagi pembaruan masyarakat. Sebagai seorang
Gloucester Journal yang berpikiran liberal, ia sangat sadar akan roda
kemiskinan dan kriminalitas. Orang-orang yang tidak dapat membayar utang
dipenjarkan dan bila mereka keluar, tidak ada kehidupan bagi mereka. Maka
mereka terdorong berbuat kejahatan. Selama bertahun-tahun Raikes berupaya
bekerja bersama mantan napi, untuk membantu mereka agar tidak berbuat
kejahatan, namun sia-sia.
“Dunia
bergerak maju di atas kaki anak-anak kecil.” Kalimat yang berasal dari Raikes
itu mengungkapkan pemikiran sekolah Minggu ini. Para orang dewasa telah
berjalan terlalu jauh, tetapi anak-anak
baru memulainya.
Masalah
yang dihadapinya ialah ketidaktahuan. Anak-anak (dari keluarga) kurang mampu
tidak pernah mendapatkan kesempatan pergi ke sekolah mereka harus bekerja untuk
membantu keluarga. Akibatnya, mereka tidak dapat beranjak dari kemiskinan.
Namun, jika mereka dapat belajar
pelajaran dasarnya membaca, menulis, berhitung dan moralitas alkitabia pada
hari libur satu harinya, suatu saat mereka mungkin mengubah semuanya itu.
Jadi,
eksperimen itu berawal dari Sooty Alley. Lambat-laun ide ini bertumbuh. Pada
tahun 1783, dengan kepercayaan diri bahwa eksperimennya telah berhasil, Raikes
mulai mengumumkannya dalam hariannya. Dengan hati-hati ia melaporkan alasan dan
hasilnya. Ide tersebut menjadi populer.
Orang-orang
Kristen yang terpandang mendukung ide tersebut. John Wesley menyukainya, dan
kelompok Wesley pun mulai melakukannya. Penulis populer, Hannah More, mengajar
agama dan memintal pada gadis-gadis di Cheddar. Seorang pedagang dari London,
William Fox, pernah menyumbangkan ide serupa, namun memutuskan menunjang proyek
Raikes. Pada tahun 1785, Fox mendirikan
perkumpulan untuk menunjang dan mendukung banyak sekolah Minggu di berbagai
kawasan di Inggris.
Ratu
Charlotte pun membenarkan sekolah Minggu tersebut. Ia memanggil Raikes untuk
mendengarkan hal itu dan kemudian ia mengizinkan namanya dipakai untuk upaya
pengumpulan dana yang dilaksanakan Fox.
Kemasyhuran
membawa pertentangan juga dari para konservatif yang takut akan terganggunya
hari Sabat oleh para pedagang, yang khawatir akan kehilangan bisnis pada hari
Minggu. Ada beberapa teman Raikes yang mengejeknya “Bobby Wild Goose (pengejar
sesuatu yang tidak mungkin tercapai) dan Resimen Gembelnya”.
Namun,
hingga tahun 1787, ada seperempat juta anak-anak menghadiri sekolah Minggu di
Inggris. Lima puluh tahun kemudian, ada 1,5 juta anak di seluruh dunia yang
dididik oleh 160.000 tenaga pengajar. Yang menggembirakan ialah perkembangan
Manchester pada tahun 1835. Sekolah Minggu tersebut terdiri dari 120 tenaga
pengajar, yang 117 di antara mereka adalah mantan murid-murid sekolah-sekolah
Minggu itu sendiri.[5]
Dari
hasil yang telah dicapai Raikes, ada beberapa pihak yang tidak senang dengan
apa yang telah dia lakukan. Misalnya Perdana Menteri Pitt, pemilik pabrik,
bahkan dari pihak gereja. Ia juga mendapat kecaman dari pendeta-pendeta. Dalam
sejarah PAK, Raikes dihargai sebagai seorang awam dengan hati nurani yang di
bentuk oleh hubungannya dengan iman Kristen.[6]
D. Gambaran
Tentang Beberapa Sekolah Minggu Pertama
Tahun
1784, Raikes mencetak peraturan-peraturan bagi
Sekolah Minggu yang disusun oleh Pdt. W. Ellis, yang akan dipakai oleh
Sekolah Minggu di Sttroud. Di Boughton, daerah Kent, pembukaan Sekolah Minggu
diumumkan dengan tujuan:
Untuk membuka peluang pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin di daerah ini, tanpa mengganggu pekerjaan mereka pada hari
kerja biasa, dan untuk membiasakan anak-anak sejak usia muda untuk selalu
beribadah setiap hari Minggu serta menghabiskan jam senggang pada hari Minggu
melalui kegiatan yang baik dan teratur. Anak itu akan diajari membaca, mengenal
tanggung jawab seorang Kristen, khususnya untuk belajar rajin dan berkelakuan
baik sesuai dengan keperluannya sebagai buruh dan pembantu di kemudian hari.
Tahun
1784, di kota Leeds terdapat 26 sekolah dengan 2000 pelajar yang diajar oleh 45
orang guru. Tahun 1785 didirikan The Sunday School Society (Perhimpunan Sekolah
Minggu). Selama 10 tahun pertama, perhimpunan itu telah membagi-bagikan 91915
buah buku untuk mengajarkan anak membaca, 24232 buah Kitab PL/PB, dan 5360
Alkitab. Sumbangan itu dipakai oleh 65000 anak-anak yang belajar pada 1012
Sekolah Minggu. Selama 28 tahun berdirinya Sekolah Minggu, ada sekitar 400000
anak didik di Inggris. Kurikulum Sekolah Minggu pada waktu itu antara lain
kedisiplinan, membaca, menulis, menghitung, pengetahuan Alkitab, dan pelajaran
katekimus.[7]
E. Pertumbuhan
Sekolah Minggu
1. Sekolah
Minggu di Amerika
Tahun 1790, Benyamin Rush, Matthew Carey dan William
White mendirikan Perserikatan Hari Pertama, untuk mendidik anak-anak dari
keluarga miskin. Tahun 1816, Ibu Joanne Bethune mendirikan Perserikatan Wanita
bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Tahun 1824, para memimpin Sekolah
Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu di
Amerika) di kota Philadelphia.
Dalam sidang raya tahun 1830, ditetapkan tujuan yang
berlaku untuk dua tahun mendatang, yaitu untuk mendirikan Sekolah Minggu pada
setiap pelosok daerah yang luasnya meliputi seluruh lembah Mississippi.Kurikulumnya
berupa pelajaran membaca, menulis, dan pelajaran Alkitab. Hasil Pelayanan Union
Sunday School antara lain banyak kelompok anak-anak yang diajar membaca, menulis
dan belajar Alkitab. Banyak Sekolah Minggu yang bertumbuh menjadi sekolah negeri dan jemaat yang beribadah.
Ada dua orang pekerja Sunday School yang sangat menonjol
dalam mengembangkan Sekolah Minggu. Kedua orang itu adalah John McCullagh dan
Stephen Paxson. Selama jangka waktu 20 tahun Stephen Paxson telah mendirikan
lebih dari 1200 Sekolah Minggu. Kebanyakan sekolah itu kelak bertumbuh menjadi
jemaat.[8]
2.
Sekolah Minggu di Jerman
Pendirian Sekolah Minggu di Jerman diprakarsai pada tahun
1860 oleh Wilhelm Broeckelmann dan Albert Woodruff. Keduanya adalah wakil dari
Perserikatan Sekolah Minggu London. Sekolah Minggu di Jerman hendak mengajar
anak-anak miskin untuk membaca, meniulis dan berhitung disamping membimbing
mereka ke dalam iman Kristen. Di Jerman, gagasan Sekolah Minggu di-Jermankan
menjadi Kindergottesdients (kebaktian anak-anak). Sesuai dengan namanya, maka
titik beratnya adalah kebangunan rohani dalam diri anak-anak melalui kebaktian
dan bimbingan dari Alkitab.[9]
3.
Sekolah Minggu di Belanda
Gagasan Sekolah Minggu dibawa oleh Dr. Abraham Capadose
ke Belanda dari Swiss, pada bulan Oktober tahun 1836 di kota Grevenhage. Pada
tahun 1841 sebuah Sekolah Minggu didirikan di kota Amsterdam dan pada tahun
1847 di kota Rotterdam. Pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 1857, oleh
karena keputusan pemerintah Belanda yang melarang penggunaan Alkitab dalam
Sekolah Negeri. Awal tahun 1858 sudah ada 50 buah Sekolah Minggu di Belanda. Tanggal
23 Oktober 1865 diadakan mufakat tentang jenis organisasi Sekolah Minggu di
Belanda. Organisasi itu di sebut Nederlandse Zondaggschool Vereniging
(Perkumpulan Sekolah Minggu Belanda). Akhirnya, jumlah sekolah minggu di
Belanda bertambah dan menjadi bagian dari pelayanan gereja.[10]
Melihat keberhasilan Raikes, gereja kemudian mengambil
alih model pelayanan itu menjadi pekabaran Injil. Di abad ke-20 muncul bahan
mengajar pelajaran sekolah minggu yang berjenjang, dan mulai terjadi pergeseran
dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi ajang pembinaan. Gereja memakai
pembinaan ini menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan anak-anak kepada
Kristus. Akhir abad ke-19 sampai awal ke-20, muncul kesadaran untuk menangani
Sekolah minggu secara lebih professional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan.
Pada tahun 1922 berdirilah “Internasional Sunday School Council of Religious
Education”, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi “The Internasional
Council of Religious Education”. Dengan berdirinya ke 2 lembaga tersebut,
Sekolah minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern,
yang lebih berpusat pada anak.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Ismail,
Andar. 2003. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke,
Robert. 2009. Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Kadarmanto,
Ruth. 2009. Tuntunlah ke Jalan yang Bena:
Panduan Mengajar Anak di Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Curtis, dkk. 2007. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[1]
Andar Ismail, 2003, Ajarlah Mereka Melakukan,
(Jakarta : BPK Gunung Mulia), Hal. 7.
[2] Boehlke,
2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 375-378.
[3]
Kadarmanto R, 2009, Tuntunlah ke Jalan
yang Benar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 26.
[4]
Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal
379-390.
[5] Curtis
dkk, 2007, 100 Peristiwa Penting Dalam
Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 111-113.
[6] Boehlke,
2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 390-393.
[7] Boehlke,
2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 393-398.
[8] Boehlke,
2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek
Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 398-416.
[9] Ibid Hal 417-418.
[10] Boehlke,
2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan
Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 418-421.
[11]
Lie Paulus, 2008, Mereformasi Sekolah
Minggu, (Bandung: ANDI), hal. 110-111.
No comments:
Post a Comment