I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agama
Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan,
terutama di India dan Nepal, yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini
meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu
pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas sehari-hari"
yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu
cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual,
daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.
Agama
Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan
hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma
(Dewanagari: सनातन धर्म),
artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui
asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk
diikuti oleh seluruh umatnya, tanpa memandang strata, kasta, atau sekte, seperti
kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Para
ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari
berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa
tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno),
agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer.
Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan
agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis Hindu"
tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi.
Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat
istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas), agama Hindu
ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan
independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan
"modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi
Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai
kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik
keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan
pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum
petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang
lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari
kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi
mencapai moksa.
Susastra
Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang
"terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra
tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual,
dan bahkan kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda,
Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita,
Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).
Agama
Hindu memiliki banyak aliran dengan berbagai konsep ketuhanannya masing-masing.
Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi Kristen, kita perlu untuk mengenal
konsep ketuhanan dari agama Hindu, agar kita tidak keliru dalam menilai agama
orang lain, khususnya agama Hindu.
B. Rumusan
Masalah
-
Bagaimanakah konsep ketuhanan dalam Agama
Hindu?
C. Tujuan
-
Untuk menjelaskan konsep ketuhanan dalam
Agama Hindu.
II.
PEMBAHASAN
A. Konsep
Ketuhanan Agama Hindu Menurut Berbagai Aliran
Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman
(esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara
sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian;
Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama
Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya
Saraswati.
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang
kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme,
panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan
bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang
diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan
pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun
istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa
karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan. Nyaya merupakan suatu
perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan]
alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab"
di balik semuanya.
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis
yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati,
esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta
sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena. Tetapi, umat Hindu tidak menyembah
Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang
disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif,
yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli
Weda, sehingga mereka disebut brahmana. Kadangkala, Brahman dipandang sebagai
Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi,
waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai
hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang
sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut
(Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab
dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis, seperti
Dwaita dan tradisi Bhakti, menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna
atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik
manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya),
sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan
lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya,
Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik
manusia, daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas, disebut
Iswara, Bhagawan, atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran
tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada,
sebagaimana ajaran Mimamsa, sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara
sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita. Dalam banyak
tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai
Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran
Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia
disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama
ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya, dan Skanda sesungguhnya
manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan
dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian
atau atribut. Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang
atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman.
Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan
seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Menurut mazhab
ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan
sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai
Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya. Mazhab ini menegaskan bahwa
tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun
tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata"
dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman. Mazhab Adwaita
dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam
semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya"
sama dengan Brahman.
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti
Samkhya dan Mimamsa. Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya
dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga
(keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui. Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang
abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah.
Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu
keadaan. Pendukung dari aliran Mimamsa, yang berdasarkan pada ritual dan
ortopraksi, menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang
suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa
penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara. Mimamsa menganggap bahwa
nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud
apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman
tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan",
sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.
B. Wujud
Tuhan
Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan
agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam
sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca
(patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan
lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan
mengatakan umat Hindu menyembah berhala.
Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan
Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana
halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness
(tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan
kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang
penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang
berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat
Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir
sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak.
Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti
kepada Tuhan.
C. Brahman/
Tuhan Yang Maha Esa
Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang
disebutkan dalam Weda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan,
bahkan tidak bisa dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut
Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang
Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:
1. Brahman:
asal muasal dari alam semestea dan segala isinya
2. Purushottama
atau Maha Purusha
3. Iswara
(dalam Weda)
4. Parama
Ciwa (dalam Whraspati tatwa)
5. Sanghyang
Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)
6. Dhata:
yang memegang atau menampilkan segala sesuatu
7. Abjayoni:
yang lahir dari bunga teratai
8. Druhina:
yang membunuh raksasa
9. Viranci:
yang menciptakan
10. Kamalasana:
yang duduk di atas bunga teratai
11. Srsta:
yang menciptakan
12. Prajapati:
raja dari semua makhluk/masyarakat
13. Vedha:
ia yang menciptakan
14. Vidhata:
yang menjadikan segala sesuatu
15. Visvasrt:
ia yang menciptakan dunia
16. Vidhi:
yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.
Tuhan
Yang Maha Esa ini apapun nama-Nya digambarkan sebagai:
- Beliau
yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta.
- Wujud
kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada.
- Raja
di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan
makanan.
- Sumber
segalanya dan sumber kebahagiaan hidup.
- Maha
suci tidak ternoda.
- Mengatasi
segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada terucapkan, tiada
duanya.
- Absolut
dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya
(swayambhu).
Penggambaran
tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan
semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh karena itu kitab-kitab
Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk
memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau
kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang
tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan ini.
Untuk
memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama,
memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan
ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab suci Veda dan
temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling diakui
otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Brahman memiliki 3 aspek:
- Sat:
sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau
Dengan kekuatanNya Brahman
telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam
semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang
disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya
pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa
bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam
semesta ini selain Tuhan.
- Cit:
sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu
pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan
pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang
sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of
knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.
- Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang
bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan
illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada
hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang
ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada
Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah
berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap
makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang
bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah
suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan
terhadap benda-benda duniawi.
Agama Hindu menyatakan bahwa pada dasarnya
Tuhan (Brahman) memiliki beberapa eksistensi yaitu:
- Paranàma
Tuhan dalam wujud energi
yang tidak tampak. Tidak berwujud". Beliau hanya merupakan sinar yang
tanpa bentuk. Dalam istilah lain Tuhan (Brahman) seperti ini juga disebut
Nirguna Brahman. Nir, berarti' tidak', Nirguna, berarti tidak memiliki sifat
Triguna (Sifat Triguna itu adalah sifat: Satwika, Rajasika dan Tamasika', bebas
dari sifat-sifat apa pun.). Brahman yang seperti ini juga disebut Nirkara yang
artinya ' tidak berbentuk.
- Wyuhanàma
Tuhan hanya dapat dilihat
oleh Para Dewa, terbaring di atas lautan yang berada di atas Nagasesa. Tuhan
yang seperti ini oleh Umat Hindu di Bali disebut Hana Tan Hana yang artinya,'
Ada tetapi Tidak Ada'. Maksud dari ungkapan itu adalah bahwa Tuhan diyakini
ada, tetapi tidak berbentuk dan sangat jarang atau hampir tidak pernah dilihat,
sehingga disebut Hana tan Hana.
- Wibhawanaama
Tuhan yang disebut
Wibhawanaama adalah Tuhan yang berbentuk. Dalam istilah lain Tuhan yang seperti
ini juga disebut Sakara Brahman atau Saguna Brahman. Artinya Tuhan berwujud dan
sekaligus mempunyai sifat atau guna. Tuhan memiliki bentuk agar para mahluk
hidup dapat berhubungan dan dekat secara fisik dan emosional sehingga ini dapat
meningkatkan kualitas dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual umat manusia.
- Antaraatmanaama
Tuhan berbentuk seperti yang
ditempatinya atau Tuhan meresapi seluruh ciptaan-Nya. Tidak ada segala sesuatu
yang tidak berisi resapan Tuhan. Secara ilmiah dapat dikatakan bahwa Tuhan
dalam wujud yang paling kecil adalah atom yang di dalam bahasa Sanskerta
disebut anu. Anu ini dibcdakan menjadi dua bagian yakni Danabhaga dan Vibhaga
dalam istilah modern Danabhaga adalah unsur molekul yang mengandung muatan positif
dan Vibhaga adalah unsur negatif. Molekul yang mengandung muatan unsur positif
inilah disebut proton dan unsur muatan yang negatif disebut elektron (Vibhaga).
Unsur Danabhaga (positif) senantiasa, tidak pernah berhenti mengejar unsur yang
bermuatan Vibhaga (negatif). Bentuk pengejarannya itu berbentuk elips. Di dalam
istilah modern muatan positif atau proton senantiasa mengejar yang bermuatan
negatif (elektron). Di dalam kehidupan para Dewa, terutama Dewa Siwa yang
disebut juga Siwa Nataraja, adalah Siwa yang menari. Dewa Siwa Nataraja ini
menarikan tarian jagat raya atau tarian kosmik. Tarian kosmik itu sebenarnya
adalah gerakan universal jagat raya dalam wujud pengejaran Danabhaga mengejar
Vibhaga yang berbentuk elips.
Alam
semesta ini adalah fragmennya Tuhan. Brahman memiliki prabawa sebagai asal mula
dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat dan keadaan.
Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk menamakan
sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik nama
maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman.
Jiwa
atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai manusia
yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-benda (materi)
di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah. Walaupun alam
semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar Brahman melainkan di
dalam tubuh Brahman.
D. Devata
atau Deva
Prasangka banyak orang yang menganggap konsep
teologis Hindu adalah politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang
Deva. Deva adalah sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva
itu adalah untuk memudahkan membayangkanNya.
Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam
berbagai wujud, yang menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi
dan juga yang tidak berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan
tentang dewa Indra, Vayu, Surya, Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa,
dan sebagainya. Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava),
Sat, Tat, dan lain-lain.
Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya
Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca
mantram-mantram lainnya dari kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa
sebanyak 3339.
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok
entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan
dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat
diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi". Para dewa merupakan bagian
integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan,
patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan
mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai
manifestasi dari Brahman. Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan
panteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak
dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan
sejati". Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam
banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya
dikatakan transenden. Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman,
sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut
(Saguna) dari Brahman.
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan
Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam
suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai
istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang
cenderung dipuja. Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau
menurut tradisi regional dan keluarga.
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33
dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan
para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati.
Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta
amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru
dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan
dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi, Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa
karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan pemujaan. Mereka berdua, beserta
Brahma, dipandang sebagai Trimurti, tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga
aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu: Brahma
sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai
pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki
pengikut dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan
Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William
Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud:
Wisnu, Siwa, Brahma. Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau
transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara.
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama
Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan berfungsi sebagai
pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan
pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia
membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri).
Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati,
Durga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari
satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan
beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana
demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi
itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu,
meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam
Mahabharata).
E. Personal
God dan Impersonal God
Tuhan menurut monotheisme Trancendent
digambarkan dalam wujud Personal God (Tuhan Yang Maha Esa Berpribadi).
Sedangkan menurut monotheisme Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan
Impersonal God. Memang menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal
God) tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah
Tuhan Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga.
Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan
sebagai Personal God, dapat dibagi menjadi tga kategori:
- Penggambaran
Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai kelebihan seperti bermata
seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.
- Penggambaran
Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau setengah binatang. Hal ini
lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti dewa Ganesha (manusia berkepala
gajah), Hayagriwa (manusia berkepala kuda, dan sebagainya.
- Penggambaran
Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan sebagai binatang saja,
misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya Soma dan
lain-lain.
F. Tri
Murti
a. Pengertian
Tri
Murti terdiri dari kata Tri dan Murti. Tri artinya Tiga dan Murti artinya
kekuatan/perwujudan. Jadi Tri Murti artinya tiga kekuatan perwujudan Sang Hyang
Widhi.
Fungsi
Tri Murti adalah sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur/praline (Utpati,
Stiti, Pralina).
b. Pembagian
Tri Murti
Bagian-bagian
Tri Murti adalah:
- Dewa
Brahma adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pencipta.
- Dewa
Wisnu adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pemelihara.
- Dewa
Siwa adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pelebur atau Pralina.
Ketiga fungsi Tri Murti disebut Tri Kona
(Utpati, Stiti, dan Pralina).
c. Tempat
pemujaan Dewa Tri Murti
- Dewa
Brahma di Pura Desa
- Dewa
Wisnu di Pura Segara
- Dewa
Siwa di Pura Balem
d. Sakti
Dewa Tri Murti
Dewi
Saraswati, saktinya Dewa Brahma
Dewi
Sri, Dewi Laksmi, saktinya Dewa Wisnu
Dewi
Uma, Dewi Durga, Dewi Parwati, saktinya Dewa Siwa
e. Atribut
Dewa Tri Murti
- Dewa
Brahma
Senjata Gada
Aksara sucinya Ang
Kendaraannya burung Angsa
Warna Merah
Dalam kehidupan sehari-hari
dilambangkan sebagai Dewa Api
- Dewa
Wisnu
Senjata Cakra
Aksara sucinya Ung
Kendaraannya burung Garuda
Warna Hitam
Dalam kehidupan sehari-hari
dilambangkan sebagai Dewa Air
- Dewa
Siwa
Senjata Padma Anglayang
Aksara sucinya Mang
Kendaraannya lumbu Andini
Warna Pancawarna
Dalam kehidupan sehari-hari dilambangkan
sebagai Dewa Angin
Apabila
simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca
"OM" ( ॐ ) yang merupakan simbol suci agama
Hindu.
G. Awatara
Awatara atau Avatar (Sanskerta: अवतार,
avatāra, baca: awatara) dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha
Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke
dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia
dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang
yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang
sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh
Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi
menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah
pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir
(Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga)
untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab
yang disebut Purana.
Dasa
Awatara dari zaman ke zaman adalah sebagai berikut:
- Matsya
Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Dalam
ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari: मत्स्य;
IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa
Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya
muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih
dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari.
Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah
yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat
bahtera besar.
- Kurma
Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Dalam
agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara
(penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini
muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama
Akupa.
Menurut
berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan
mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut
konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup
abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mengaduk laut
tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara
digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut
dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung
tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar
tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan
Dewa Wisnu mengambil alih.
- Waraha
Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Waraha
(Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga
dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa
Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya
terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut
mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa
bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya
(raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam
"lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat
dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki
dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh
Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar
karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara
raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan
tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu
yang menang.
- Narasinga
Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Narasinga
(Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah
awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia
dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan
yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang
melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
- Wamana
Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Dalam
agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ;
Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai
putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna
menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang
Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa
Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman
pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak
kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa
Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil.
Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
- Parasurama
Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
Parasurama
(Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang
di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin
(abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna
"Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang
bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai
awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak
kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di
dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai
seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas
para kesatria tersebut.
- Rama
Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Dalam
agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra
(Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja
legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga,
keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang
beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu
yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah
kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang
disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir
sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang
sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna".
Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita,
inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
- Kresna
Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Kresna
(Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah
satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru
tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis
dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan
kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata
menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari
kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja
sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara
Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia
dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu
sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau
Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda
yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal
sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia
dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu
meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna
tentang ilmu rohani.
- Buddha
Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Dalam
agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai
awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa
Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Dia disebut sebagai awatara kedua puluh empat di
antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang
mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain
Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
- Kalki
Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
Dalam
ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि;
IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu
kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga
(zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai
sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai
kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki
muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Dia adalah awatara yang
mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta
[anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang
berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis
Kali, kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru.
H. Kutipan
beberapa sloka mengenai Tuhan
- Bhagavad-gita
6.29
Seorang
yogi yang sejati melihat Aku bersemayam di dalam semua makhluk hidup, dan dia
juga melihat setiap makhluk hidup di dalam Diri-Ku. Memang, orang yang sudah
insaf akan dirinya melihat Aku, Tuhan Yang Maha Esa yang sama di mana-mana.
- Bhagavad-gita
7.6
Semua
makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan
pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia
ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani.
- Bhagavad-gita
7.7
Wahai
perebut kekayaan, tidak ada kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala
sesuatu bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali.
- Bhagavad-gita
7.26
Wahai
Arjuna, sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Aku mengetahui segala sesuatu
yang terjadi pada masa lampau, segala sesuatu yang sedang terjadi sekarang, dan
segala sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Aku juga mengenal
semua makhluk hidup, namun tiada seorangpun yang mengenal Diri-Ku.
- Bhagavad-gita
9.4
Aku
berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak
terwujud. Semua makhluk hidup berada dalam diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di
dalam mereka.
- Bhagavad-gita
9.5
Namun
segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar di dalam diri-Ku. Lihatlah
kehebatan batin-Ku! Walaupun Aku memelihara semua makhluk hidup dan walaupun
Aku berada di mana-mana, namun Aku bukan bagian dari manifestasi alam semesta
ini, sebab Diri-Ku adalah asal mula ciptaan.
- Bhagavad-gita
10.2
Baik
para dewa maupun resi-resi yang mulia tidak mengenal asal mula maupun
kehebatan-Ku, sebab, dalam segala hal, Aku adalah sumber dewa-dewa dan
resi-resi.
- Bhagavad-gita
10.3
Orang
yang mengenal Aku sebagai Yang tidak dilahirkan, sebagai Yang tidak berawal,
sebagai Tuhan Yang Maha Esa Yang berkuasa atas semua dunia di kalangan manusia
dia yang tidak berkhayal, dan hanya dialah yang dibebaskan dari segala dosa.
- Bhagavad-gita
10.8
Aku
adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu
berasal dari-Ku. Orang bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara sempurna
menekuni bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh hatinya.
- Bhagavad-gita
10.41
Ketahuilah
bahwa segala ciptaan yang hebat, indah dan mulia hanya berasal dari segelintir
kemuliaan-Ku.
- Bhagavad-gita
10.42
Wahai
Arjuna, mengapa segala pengetahuan yang terperinci ini diperlukan? Dengan satu
bagian percikan saja dari Diri-Ku Aku berada di mana-mana dan menyangga seluruh
alam semesta.
- Bhagavad-gita
11.6
Wahai
yang paling baik di antara para Bharatha, lihatlah di sini berbagai perwujudan
para Aditya, vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak
keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya.
- Bhagavad-gita
11.15
Arjuna
berkata; Sri Krsna yang hamba muliakan, di dalam badan Anda hamba melihat semua
dewa dan berbagai jenis makhluk hidup yang lain. Hamba melihat Brahma duduk di
atas bunga padma, bersama Dewa Siva, semua resi dan naga-naga rohani.
- Bhagavad-gita
11.21
Semua
kelompok dewa menyerahkan diri di hadapan Anda dan masuk ke dalam diri Anda.
Beberapa di antaranya sangat ketakutan dan mereka mempersembahkan doa pujian
sambil mencakupkan tangannya. Banyak resi yang mulia dan makhluk-makhluk yang
sempurna yang sedang berseru, “semoga ada segala kedamaian!” sedang berdoa
kepada Anda dengan menyanyikan mantra-mantra veda.
- Bhagavad-gita
11.37
Yang
Mahabesar, lebih tinggi daripada Brahma, Anda adalah pencipta yang asli. Karena
itu, bukankah seyogyanya mereka bersujud dengan hormat kepada Anda? O
kepribadian yang tidak terhingga, Tuhan yang disembah oleh semua dewa,
pelindung alam semesta! Anda adalah sumber yang tidak dapat dikalahkan, sebab
segala sebab, yang melampaui manifestasi alam material ini.
III.
KESIMPULAN
Agama Hindu memiliki
berbagai aliran dengan berbagai konsep ketuhanannya masing-masing. Agama Hindu
mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering
didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam
semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.
Agama Hindu tidak
menyembah berhala. Dalam peribadatan, membawa sajen (yang berisi makanan yang
lezat dan buah-buahan) ke Pura, bukan berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia,
suka makan yang enak-enak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat
untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.
Agama Hindu tidak
menyembah banyak dewa (Politeisme). Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai
manifestasi dari Brahman. Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan
panteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak
dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu
"kenyataan sejati".
Agama Hindu memiliki
suatu konsep yang disebut Awatara. Awatara atau Avatar (Sanskerta: अवतार,
avatāra, baca: awatara) dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha
Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke
dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia
dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang
yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Cudami.
1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma
Sarathi.
Titib,
I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Penerbit
Paramita.
Kokog,
Nengah. Himpunan Materi Mata Kuliah Agama Hindu. Sekolah Tinggi Agama Kristen
Negeri Manado.
No comments:
Post a Comment