Sunday, December 6, 2015

KONSEP KETUHANAN AGAMA HINDU

I.      PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Agama Hindu (disebut pula Hinduisme) merupakan agama dominan di Asia Selatan, terutama di India dan Nepal, yang mengandung aneka ragam tradisi. Agama ini meliputi berbagai aliran, di antaranya Saiwa, Waisnawa, dan Sakta, serta suatu pandangan luas akan hukum dan aturan tentang "moralitas sehari-hari" yang berdasar pada karma, darma, dan norma kemasyarakatan. Agama Hindu cenderung seperti himpunan berbagai pandangan filosofis atau intelektual, daripada seperangkat keyakinan yang baku dan seragam.
Agama Hindu disebut sebagai "agama tertua" di dunia yang masih bertahan hingga kini, dan umat Hindu menyebut agamanya sendiri sebagai Sanātana-dharma (Dewanagari: सनातन धर्म), artinya "darma abadi" atau "jalan abadi" yang melampaui asal mula manusia. Agama ini menyediakan kewajiban "kekal" untuk diikuti oleh seluruh umatnya, tanpa memandang strata, kasta, atau sekte, seperti kejujuran, kesucian, dan pengendalian diri.
Para ahli dari Barat memandang Hinduisme sebagai peleburan atau sintesis dari berbagai tradisi dan kebudayaan di India, dengan pangkal yang beragam dan tanpa tokoh pendiri. Pangkal-pangkalnya meliputi Brahmanisme (agama Weda Kuno), agama-agama masa peradaban lembah Sungai Indus, dan tradisi lokal yang populer. Sintesis tersebut muncul sekitar 500–200 SM, dan tumbuh berdampingan dengan agama Buddha hingga abad ke-8. Dari India Utara, "sintesis Hindu" tersebar ke selatan, hingga sebagian Asia Tenggara. Hal itu didukung oleh Sanskritisasi. Sejak abad ke-19, di bawah dominansi kolonialisme Barat serta Indologi (saat istilah "Hinduisme" mulai dipakai secara luas), agama Hindu ditegaskan kembali sebagai tempat berhimpunnya aneka tradisi yang koheren dan independen. Pemahaman populer tentang agama Hindu digiatkan oleh gerakan "modernisme Hindu", yang menekankan mistisisme dan persatuan tradisi Hindu. Ideologi Hindutva dan politik Hindu muncul pada abad ke-20 sebagai kekuatan politis dan jati diri bangsa India.
Praktik keagamaan Hindu meliputi ritus sehari-hari (contohnya puja [sembahyang] dan pembacaan doa), perayaan suci pada hari-hari tertentu, dan penziarahan. Kaum petapa yang disebut sadu (orang suci) memilih untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem daripada umat Hindu pada umumnya, yaitu melepaskan diri dari kesibukan duniawi dan melaksanakan tapa brata selama sisa hidupnya demi mencapai moksa.
Susastra Hindu diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: Sruti (apa yang "terdengar") dan Smerti (apa yang "diingat"). Susastra tersebut memuat teologi, filsafat, mitologi, yadnya (kurban), prosesi ritual, dan bahkan kaidah arsitektur Hindu. Kitab-kitab utama di antaranya adalah Weda, Upanishad (keduanya tergolong Sruti), Mahabharata, Ramayana, Bhagawadgita, Purana, Manusmerti, dan Agama (semuanya tergolong Smerti).
Agama Hindu memiliki banyak aliran dengan berbagai konsep ketuhanannya masing-masing. Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi Kristen, kita perlu untuk mengenal konsep ketuhanan dari agama Hindu, agar kita tidak keliru dalam menilai agama orang lain, khususnya agama Hindu.

B.   Rumusan Masalah
  -       Bagaimanakah konsep ketuhanan dalam Agama Hindu?
C.   Tujuan
  -       Untuk menjelaskan konsep ketuhanan dalam Agama Hindu.



II.    PEMBAHASAN

A.   Konsep Ketuhanan Agama Hindu Menurut Berbagai Aliran
Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan), contohnya Saraswati.
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi dan filsafat yang diikuti. Kadangkala agama Hindu dikatakan bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui keberadaan para dewa), namun istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan keberadaan Tuhan. Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan "logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu "penyebab" di balik semuanya.
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena. Tetapi, umat Hindu tidak menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka disebut brahmana. Kadangkala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman, maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis, seperti Dwaita dan tradisi Bhakti, menyembah Tuhan yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya), sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia, daripada dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas, disebut Iswara, Bhagawan, atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada, sebagaimana ajaran Mimamsa, sampai pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan mazhab Adwaita. Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadangkala menyebutnya Swayam Bhagawan. Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya, dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut. Menurut mazhab ini, Tuhan yang berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Menurut mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya. Mazhab ini menegaskan bahwa tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, namun tujuan hidup sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya tiada berbeda dengan Brahman. Mazhab Adwaita dapat dikatakan sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal dari Brahman, namun pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa. Dalam kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan (Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui. Samkhya berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk suatu keadaan. Pendukung dari aliran Mimamsa, yang berdasarkan pada ritual dan ortopraksi, menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu "pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan apa yang dibuatkan upacara. Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.
B.   Wujud Tuhan
Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala.
Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.


C.   Brahman/ Tuhan Yang Maha Esa
Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:
1.    Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya
2.    Purushottama atau Maha Purusha
3.    Iswara (dalam Weda)
4.    Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)
5.    Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)
6.    Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu
7.    Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai
8.    Druhina: yang membunuh raksasa
9.    Viranci: yang menciptakan
10. Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai
11. Srsta: yang menciptakan
12. Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat
13. Vedha: ia yang menciptakan
14. Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu
15. Visvasrt: ia yang menciptakan dunia
16. Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.
Tuhan Yang Maha Esa ini apapun nama-Nya digambarkan sebagai:
-       Beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta.
-       Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada.
-       Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan.
-       Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup.
-       Maha suci tidak ternoda.
-       Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada terucapkan, tiada duanya.
-       Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya (swayambhu).

Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan ini.
Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Brahman memiliki 3 aspek:
-       Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau
Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.
-       Cit: sebagai Maha Tahu
Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.
-       Ananda
Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.
Agama Hindu menyatakan bahwa pada dasarnya Tuhan (Brahman) memiliki beberapa eksistensi yaitu:
-       Paranàma
Tuhan dalam wujud energi yang tidak tampak. Tidak berwujud". Beliau hanya merupakan sinar yang tanpa bentuk. Dalam istilah lain Tuhan (Brahman) seperti ini juga disebut Nirguna Brahman. Nir, berarti' tidak', Nirguna, berarti tidak memiliki sifat Triguna (Sifat Triguna itu adalah sifat: Satwika, Rajasika dan Tamasika', bebas dari sifat-sifat apa pun.). Brahman yang seperti ini juga disebut Nirkara yang artinya ' tidak berbentuk.
-       Wyuhanàma
Tuhan hanya dapat dilihat oleh Para Dewa, terbaring di atas lautan yang berada di atas Nagasesa. Tuhan yang seperti ini oleh Umat Hindu di Bali disebut Hana Tan Hana yang artinya,' Ada tetapi Tidak Ada'. Maksud dari ungkapan itu adalah bahwa Tuhan diyakini ada, tetapi tidak berbentuk dan sangat jarang atau hampir tidak pernah dilihat, sehingga disebut Hana tan Hana.
-       Wibhawanaama
Tuhan yang disebut Wibhawanaama adalah Tuhan yang berbentuk. Dalam istilah lain Tuhan yang seperti ini juga disebut Sakara Brahman atau Saguna Brahman. Artinya Tuhan berwujud dan sekaligus mempunyai sifat atau guna. Tuhan memiliki bentuk agar para mahluk hidup dapat berhubungan dan dekat secara fisik dan emosional sehingga ini dapat meningkatkan kualitas dari nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual umat manusia.
-       Antaraatmanaama
Tuhan berbentuk seperti yang ditempatinya atau Tuhan meresapi seluruh ciptaan-Nya. Tidak ada segala sesuatu yang tidak berisi resapan Tuhan. Secara ilmiah dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam wujud yang paling kecil adalah atom yang di dalam bahasa Sanskerta disebut anu. Anu ini dibcdakan menjadi dua bagian yakni Danabhaga dan Vibhaga dalam istilah modern Danabhaga adalah unsur molekul yang mengandung muatan positif dan Vibhaga adalah unsur negatif. Molekul yang mengandung muatan unsur positif inilah disebut proton dan unsur muatan yang negatif disebut elektron (Vibhaga). Unsur Danabhaga (positif) senantiasa, tidak pernah berhenti mengejar unsur yang bermuatan Vibhaga (negatif). Bentuk pengejarannya itu berbentuk elips. Di dalam istilah modern muatan positif atau proton senantiasa mengejar yang bermuatan negatif (elektron). Di dalam kehidupan para Dewa, terutama Dewa Siwa yang disebut juga Siwa Nataraja, adalah Siwa yang menari. Dewa Siwa Nataraja ini menarikan tarian jagat raya atau tarian kosmik. Tarian kosmik itu sebenarnya adalah gerakan universal jagat raya dalam wujud pengejaran Danabhaga mengejar Vibhaga yang berbentuk elips.

Alam semesta ini adalah fragmennya Tuhan. Brahman memiliki prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman.
Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah. Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.

D.   Devata atau Deva
Prasangka banyak orang yang menganggap konsep teologis Hindu adalah politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang Deva. Deva adalah sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva itu adalah untuk memudahkan membayangkanNya.
Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra, Vayu, Surya, Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa, dan sebagainya. Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat, Tat, dan lain-lain.
Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa sebanyak 3339.
Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa), bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi". Para dewa merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman. Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati". Keberadaan konsep monisme dan monoteisme berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam sloka lainnya dikatakan transenden. Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut (Saguna) dari Brahman.
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu) dari Tuhan yang cenderung dipuja. Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang atau menurut tradisi regional dan keluarga.
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran. Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi, Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab suci dan pemujaan. Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti, tiga aspek dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma. Gagasan fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui [konsep] awatara.
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia (inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting dalam Mahabharata).
E.   Personal God dan Impersonal God
Tuhan menurut monotheisme Trancendent digambarkan dalam wujud Personal God (Tuhan Yang Maha Esa Berpribadi). Sedangkan menurut monotheisme Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan Impersonal God. Memang menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God) tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga.
Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat dibagi menjadi tga kategori:
-       Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.
-       Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti dewa Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala kuda, dan sebagainya.
-       Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan sebagai binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lain.

F.    Tri Murti
  a.    Pengertian
Tri Murti terdiri dari kata Tri dan Murti. Tri artinya Tiga dan Murti artinya kekuatan/perwujudan. Jadi Tri Murti artinya tiga kekuatan perwujudan Sang Hyang Widhi.
Fungsi Tri Murti adalah sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur/praline (Utpati, Stiti, Pralina).
  b.    Pembagian Tri Murti
Bagian-bagian Tri Murti adalah:
-       Dewa Brahma adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pencipta.
-       Dewa Wisnu adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pemelihara.
-       Dewa Siwa adalah perwujudan Sang Hyang Widhi sebagai Pelebur atau Pralina.
Ketiga fungsi Tri Murti disebut Tri Kona (Utpati, Stiti, dan Pralina).
  c.    Tempat pemujaan Dewa Tri Murti
-       Dewa Brahma di Pura Desa
-       Dewa Wisnu di Pura Segara
-       Dewa Siwa di Pura Balem
  d.    Sakti Dewa Tri Murti
Dewi Saraswati, saktinya Dewa Brahma
Dewi Sri, Dewi Laksmi, saktinya Dewa Wisnu
Dewi Uma, Dewi Durga, Dewi Parwati, saktinya Dewa Siwa
  e.    Atribut Dewa Tri Murti
-       Dewa Brahma
Senjata Gada
Aksara sucinya Ang
Kendaraannya burung Angsa
Warna Merah
Dalam kehidupan sehari-hari dilambangkan sebagai Dewa Api
-       Dewa Wisnu
Senjata Cakra
Aksara sucinya Ung
Kendaraannya burung Garuda
Warna Hitam
Dalam kehidupan sehari-hari dilambangkan sebagai Dewa Air
-       Dewa Siwa
Senjata Padma Anglayang
Aksara sucinya Mang
Kendaraannya lumbu Andini
Warna Pancawarna
Dalam kehidupan sehari-hari dilambangkan sebagai Dewa Angin
Apabila simbol dari ketiga dewa tesebut digabungkan, maka akan menjadi AUM yang dibaca "OM" ( ) yang merupakan simbol suci agama Hindu.
G.   Awatara
Awatara atau Avatar (Sanskerta: अवतार, avatāra, baca: awatara) dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.
Agama Hindu mengenal adanya Dasa Awatara yang sangat terkenal di antara Awatara-Awatara lainnya. Dasa Awatara adalah sepuluh Awatara yang diyakini sebagai penjelmaan material Dewa Wisnu dalam misi menyelamatkan dunia. Dari sepuluh Awatara, sembilan diantaranya diyakini sudah pernah menyelamatkan dunia, sedangkan satu di antaranya, Awatara terakhir (Kalki Awatara), masih menunggu waktu yang tepat (konon pada akhir Kali Yuga) untuk turun ke dunia. Kisah-kisah Awatara tersebut terangkum dalam sebuah kitab yang disebut Purana.
Dasa Awatara dari zaman ke zaman adalah sebagai berikut:
  -       Matsya Awatara, sang ikan, muncul saat Satya Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Matsya (Dewanagari: मत्स्; IAST: matsya) adalah awatara Wisnu yang berwujud ikan raksasa. Dalam bahasa Sanskerta, kata matsya sendiri berarti ikan. Menurut mitologi Hindu, Matsya muncul pada masa Satyayuga, pada masa pemerintahan Raja Satyabrata (lebih dikenal sebagai Maharaja Waiwaswata Manu), putra Wiwaswan, dewa matahari. Matsya turun ke dunia untuk memberitahu Maharaja Manu mengenai bencana air bah yang akan melanda bumi. Ia memerintahkan Maharaja Manu untuk segera membuat bahtera besar.
  -       Kurma Awatara, sang kura-kura, muncul saat Satya Yuga
Dalam agama Hindu, Kurma (Sanskerta: कुर्म; Kurma) adalah awatara (penjelmaan) kedua dewa Wisnu yang berwujud kura-kura raksasa. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga. Menurut kitab Adiparwa, kura-kura tersebut bernama Akupa.
Menurut berbagai kitab Purana, Wisnu mengambil wujud seekor kura-kura (kurma) dan mengapung di lautan susu (Kserasagara atau Kserarnawa). Di dasar laut tersebut konon terdapat harta karun dan tirta amerta yang dapat membuat peminumnya hidup abadi. Para Dewa dan Asura berlomba-lomba mendapatkannya. Untuk mengaduk laut tersebut, mereka membutuhkan alat dan sebuah gunung yang bernama Mandara digunakan untuk mengaduknya. Para Dewa dan para Asura mengikat gunung tersebut dengan naga Wasuki dan memutar gunung tersebut. Kurma menopang dasar gunung tersebut dengan tempurungnya. Dewa Indra memegang puncak gunung tersebut agar tidak terangkat ke atas. Setelah sekian lama tirta amerta berhasil didapat dan Dewa Wisnu mengambil alih.
  -       Waraha Awatara, sang babi hutan, muncul saat Satya Yuga
Waraha (Sanskerta: वाराह; Varāha) adalah awatara (penjelmaan) ketiga dari Dewa Wisnu yang berwujud babi hutan. Awatara ini muncul pada masa Satyayuga (zaman kebenaran). Kisah mengenai Waraha Awatara selengkapnya terdapat di dalam kitab Warahapurana dan Purana-Purana lainnya.
Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.
Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.
  -       Narasinga Awatara, manusia berkepala singa, muncul saat Satya Yuga
Narasinga (Devanagari: नरसिंह ; disebut juga Narasingh, Nārasiṃha) adalah awatara (inkarnasi/penjelmaan) Wisnu yang turun ke dunia, berwujud manusia dengan kepala singa, berkuku tajam seperti pedang, dan memiliki banyak tangan yang memegang senjata. Narasinga merupakan simbol dewa pelindung yang melindungi setiap pemuja Wisnu jika terancam bahaya.
  -       Wamana Awatara, sang orang cebol, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."
  -       Parasurama Awatara, sang Rama bersenjata kapak, muncul saat Treta Yuga
Parasurama (Dewanagari: परशुरामभार्गव; IAST: Parashurāma Bhārgava) atau yang di Indonesia kadang disebut Ramaparasu, adalah nama seorang tokoh Ciranjiwin (abadi) dalam ajaran agama Hindu. Secara harfiah, nama Parashurama bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah Bhargawa yang bermakna "keturunan Maharesi Bregu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara Wisnu yang keenam dan hidup pada zaman Tretayuga. Pada zaman ini banyak kaum kesatria yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa pemelihara alam semesta lahir ke dunia sebagai seorang brahmana berwujud angker, yaitu Rama putra Jamadagni, untuk menumpas para kesatria tersebut.
  -       Rama Awatara, sang ksatria, muncul saat Treta Yuga
Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sanskerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.
  -       Kresna Awatara, putra Wasudewa, muncul saat Dwapara Yuga
Kresna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa; dibaca [ˈkr̩ʂɳə]) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru tua, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri, dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
  -       Buddha Awatara, pangeran Siddharta Gautama, muncul saat Kali Yuga
Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai awatara (inkarnasi) kesembilan di antara sepuluh awatara (Dasawatara) Dewa Wisnu. Dalam Bhagawatapurana, Dia disebut sebagai awatara kedua puluh empat di antara dua puluh lima awatara Wisnu. Kata buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan" dan dapat mengacu kepada Buddha lainnya selain Gautama Buddha, pendiri Buddhisme yang dikenal pada masa sekarang.
  -       Kalki Awatara, sang pemusnah, muncul saat Kali Yuga
Dalam ajaran agama Hindu, Kalki (Dewanagari: कल्कि; IAST: Kalki; juga ditulis sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara Wisnu kesepuluh sekaligus yang terakhir, yang akan datang pada akhir zaman Kaliyuga (zaman kegelapan dan kehancuran) saat ini. Nama kalki seringkali dipakai sebagai metafora untuk kekekalan dan waktu. Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki yaitu Dia adalah awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya Devadatta [anugerah Dewa] dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali dharma dan memulai zaman yang baru.

H.   Kutipan beberapa sloka mengenai Tuhan
  -       Bhagavad-gita 6.29
Seorang yogi yang sejati melihat Aku bersemayam di dalam semua makhluk hidup, dan dia juga melihat setiap makhluk hidup di dalam Diri-Ku. Memang, orang yang sudah insaf akan dirinya melihat Aku, Tuhan Yang Maha Esa yang sama di mana-mana.
  -       Bhagavad-gita 7.6
Semua makhluk yang diciptakan bersumber dari kedua alam tersebut. Ketahuilah dengan pasti bahwa Aku adalah sumber perwujudan dan peleburan segala sesuatu di dunia ini, baik yang bersifat material maupun yang bersifat rohani.
  -       Bhagavad-gita 7.7
Wahai perebut kekayaan, tidak ada kebenaran yang lebih tinggi daripada-Ku. Segala sesuatu bersandar kepada-Ku, bagaikan mutiara diikat pada seutas tali.
-       Bhagavad-gita 7.26
Wahai Arjuna, sebagai kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Aku mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada masa lampau, segala sesuatu yang sedang terjadi sekarang, dan segala sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Aku juga mengenal semua makhluk hidup, namun tiada seorangpun yang mengenal Diri-Ku.
  -       Bhagavad-gita 9.4
Aku berada di mana-mana di seluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud. Semua makhluk hidup berada dalam diri-Ku, tetapi Aku tidak berada di dalam mereka.
  -       Bhagavad-gita 9.5
Namun segala sesuatu yang diciptakan tidak bersandar di dalam diri-Ku. Lihatlah kehebatan batin-Ku! Walaupun Aku memelihara semua makhluk hidup dan walaupun Aku berada di mana-mana, namun Aku bukan bagian dari manifestasi alam semesta ini, sebab Diri-Ku adalah asal mula ciptaan.
  -       Bhagavad-gita 10.2
Baik para dewa maupun resi-resi yang mulia tidak mengenal asal mula maupun kehebatan-Ku, sebab, dalam segala hal, Aku adalah sumber dewa-dewa dan resi-resi.
  -       Bhagavad-gita 10.3
Orang yang mengenal Aku sebagai Yang tidak dilahirkan, sebagai Yang tidak berawal, sebagai Tuhan Yang Maha Esa Yang berkuasa atas semua dunia di kalangan manusia dia yang tidak berkhayal, dan hanya dialah yang dibebaskan dari segala dosa.
  -       Bhagavad-gita 10.8
Aku adalah sumber segala dunia rohani dan segala dunia material. Segala sesuatu berasal dari-Ku. Orang bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara sempurna menekuni bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku dengan sepenuh hatinya.
  -       Bhagavad-gita 10.41
Ketahuilah bahwa segala ciptaan yang hebat, indah dan mulia hanya berasal dari segelintir kemuliaan-Ku.
  -       Bhagavad-gita 10.42
Wahai Arjuna, mengapa segala pengetahuan yang terperinci ini diperlukan? Dengan satu bagian percikan saja dari Diri-Ku Aku berada di mana-mana dan menyangga seluruh alam semesta.
  -       Bhagavad-gita 11.6
Wahai yang paling baik di antara para Bharatha, lihatlah di sini berbagai perwujudan para Aditya, vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya.
 -       Bhagavad-gita 11.15
Arjuna berkata; Sri Krsna yang hamba muliakan, di dalam badan Anda hamba melihat semua dewa dan berbagai jenis makhluk hidup yang lain. Hamba melihat Brahma duduk di atas bunga padma, bersama Dewa Siva, semua resi dan naga-naga rohani.
  -       Bhagavad-gita 11.21
Semua kelompok dewa menyerahkan diri di hadapan Anda dan masuk ke dalam diri Anda. Beberapa di antaranya sangat ketakutan dan mereka mempersembahkan doa pujian sambil mencakupkan tangannya. Banyak resi yang mulia dan makhluk-makhluk yang sempurna yang sedang berseru, “semoga ada segala kedamaian!” sedang berdoa kepada Anda dengan menyanyikan mantra-mantra veda.
  -       Bhagavad-gita 11.37
Yang Mahabesar, lebih tinggi daripada Brahma, Anda adalah pencipta yang asli. Karena itu, bukankah seyogyanya mereka bersujud dengan hormat kepada Anda? O kepribadian yang tidak terhingga, Tuhan yang disembah oleh semua dewa, pelindung alam semesta! Anda adalah sumber yang tidak dapat dikalahkan, sebab segala sebab, yang melampaui manifestasi alam material ini.


III.   KESIMPULAN

Agama Hindu memiliki berbagai aliran dengan berbagai konsep ketuhanannya masing-masing. Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena.
Agama Hindu tidak menyembah berhala. Dalam peribadatan, membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, bukan berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.
Agama Hindu tidak menyembah banyak dewa (Politeisme). Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman. Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme atau pun politeisme, melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak dewa, namun mereka merupakan manifestasi berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati".
Agama Hindu memiliki suatu konsep yang disebut Awatara. Awatara atau Avatar (Sanskerta: अवतार, avatāra, baca: awatara) dalam agama Hindu adalah inkarnasi dari Tuhan Yang Maha Esa maupun manifestasinya. Tuhan Yang Maha Esa ataupun manifestasinya turun ke dunia, mengambil suatu bentuk dalam dunia material, guna menyelamatkan dunia dari kehancuran dan kejahatan, menegakkan dharma dan menyelamatkan orang-orang yang melaksanakan Dharma/Kebenaran.



DAFTAR PUSTAKA

Cudami. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.
Kokog, Nengah. Himpunan Materi Mata Kuliah Agama Hindu. Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Manado.




No comments:

Post a Comment