I.
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, bahasa , dan agama. Hal ini membuat Indonesia dikenal dengan
masyarakatnya yang majemuk. Dalam konteks kemajemukan yang telah menjadi jati
diri bangsa Indonesia, maka kesatuan dan kerukunan menjadi kata kunci yang
penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan dan
kerukunan dapat kita upayakan melalui toleransi antar umat beragama. Selain
itu, mengenal dan memahami agama lain juga sangat penting agar tidak terjadi
kesalah pahaman. Dialog antar umat beragama juga diperlukan untuk menjaga
kesatuan, membina kerukunan serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi,
agar nantinya tidak terjadi konflik antar agama.
Sebagai
orang Kristen yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita juga
hidup dalam bingkai agama Kristen yang terdiri dari berbagai denominasi. Mengenal
dan memahami denominasi lain, melakukan dialog serta bertoleransi dengan
denominasi lain harus kita upayakan demi tercapainya keesaan dan kerukunan
antar gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus. Oleh karena sebagaimana Tubuh
Kristus yang adalah satu, gereja-gereja juga harus bersatu dalam suatu wadah
Oikumenis.
II. PEMBAHASAN
A. Keanekaragaman
Gereja di Indonesia
Agama
Kristen di Indonesia memiliki banyak denominasi gereja, mulai dari GPI (Gereja
Protestan di Indonesia), sampai pada gereja kharismatik. Gereja Protestan di
Indonesia merupakan kelanjutan dari Indische
Kerk dengan tradisi Kalvinis; mencakup Gereja Masehi Injili di Minahasa
(1934), Gereja Protestan Maluku (1935), Gereja Masehi Injili di Timor (1947),
Gereja Toraja (1947), Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat (GPIB,
1948), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (1957), Gereja Protestan di
Indonesia di Gorontalo (1965), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (1965),
Gereja Protestan di Indonesia di Buol/Tolitoli (1964), Gereja Kristen Luwuk
Banggai (1966), Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya (1985).[1]
Seiring
waktu, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia semakin beraneka
ragam. Penyebab yang pertama ialah mekarnya beberapa gereja akibat unsur
kesukuan/kedaerahan, selajutnya karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera
Utara lahirlah GKPS, GKPI dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang melepaskan
diri dari HKBP. Di Nias, lahirlah AMIN dan ONKP. Di Sulawesi berdiri GKLB dan
GPIL. Penyebab lain bertambahnya gereja di Indonesia adalah masuknya atau
perluasan pengaruh denimonasi-denominasi jenis kebangunan. Denominasi-denominasi tersebut antara lain kaum
Adventis, Baptis, Metodis, Pentakosta dan juga Injili.
Aliran
kebangunan ini datang dari negara-negara Anglosaksis, khususnya dari kalangan
kebangunan atau evangelical di Amerika Serikat. Ia masuk ke Indonesia dalam
wadah denominasi-denominasi baru (Pentakosta dll), tetapi berpengaruh juga
dalam gereja-gereja tradisional, khususnya di jemaat-jemaat kota. Wadahnya di
sini ialah gerakan kharismatis, kelompok doa, juga buku-buku Kristen yang
diterjemahkan dari buku asli berbahasa Inggris dan yang disebarkan dalam jumlah
besar oleh berbagai penerbit. Ajarannya
menekankan akan kesalehan yang hangat, penebusan dosa oleh darah Yesus Kristus,
dan kesucian hidup, sehingga menyebabkan aliran ini mudah diterima oleh
orang-orang Kristen. Namun aliran kebangunan dari Amerika ini tidak menyenangi
pola gereja calvinis. Secara khusus mereka menolak kebiasaan membaptis
anak-anak orang percaya, maka masuknya aliran tersebut disamping menjadi sebab
berdirinya sebuah gereja baru, menimbulkan pula ketegangan di beberapa gereja
yang telah berdiri sebelumnya.[2]
B. Keesaan
Gereja di Indonesia
Keesaan
gereja di Indonesia diwujudkan dalam gerakan oikumenis oleh gereja-gereja di
Indonesia. Sampai sekitar tahun 1850, di Indonesia belum terdapat gerakan
oikumenis, sebab belum ada kepelbagaian gereja. Begitu pelbagai gereja lahir,
segera pula muncul upaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Hingga
perang dunia kedua, usaha-usaha itu diprakarsai dan dilakukan oleh orang eropa.
Mula-mula yang diusahakan hanya kerjasama dan pendekatan antara perseorangan.
Dalam abad ke-20 mulai dipikirkan pula kerjasama dan kesatuan antara
gereja-gereja. Orang Indonesia makin banyak dilibatkan dalam usaha ini, dan sejak
tahun 1945 gerakan oikumenis menjadi urusan orang Indonesia sendiri. Wadah
oikumenis yang utama dalam lingkungan protestan di Indonesia ialah DGI/PGI. Di
samping itu terdapat beberapa badan yang menyatukan gereja-gereja yang berasal
dari tradisi Anglosaksis (AS).
Pada
tahun 1946-1947 dibentuklah dua dewan yang boleh disebut sebagai Dewan
Gereja-gereja Wilayah, yakni “Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di
Indonesia (DPG) dan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen (MOBK)”.
MOBK inilah yang menjadi perintis pembentukan DGI. Pembentukan DGI secara
langsung menjadi pokok pembicaraan dalam Sidang Sinode Am GPI yang ke-empat di
Bogor (1948). GPI menyatakan mendukung pembentukan majelis Kristen di
Indonesia. Dukungannya terbukti dengan terpilihnya sekum MOBGK, Pendeta W. J.
Rumambi, menjadi sekum badan pekerja GPI.[3]
Pada
Januari 1948, Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan
Majelis Gereja-gereja Kristen di Indonesia yang berisi beberapa usulan
bagaimana pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam
beberapa sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun
1947). Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia
Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai. Selanjutnya pada tanggal
6-11 November 1949 diadakan Konperensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di
Indonesia.[4]
Pada
tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di
Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta). Salah
satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar
DGI. Pada tanggal 25 Mei, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi
dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja
di Indonesia (DGI) dalam sebuah "Manifes Pembentoekan DGI":
“Kami
anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia,
mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia
telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari
Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan
Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei
1950.
Kami
pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi
kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe
pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes,
Toehan dan Kepala Geredja, kepada oemat-Nja, oentoek kemoeliaan nama Toehan
dalam doenia ini.”
Jadi,
hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada
bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan, dan akhirnya dalam
konferensi yang dilaksanakan tanggal 21 - 28 Mei 1950 ini membuahkan hasil.
Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja
Kristen yang esa di Indonesia.[5]
DGI/PGI
pada hakikatnya menggabungkan gereja-gereja yang dihasilkan oleh karya zending
Belanda dan Jerman, di samping gereja-gereja yang berasal dari PGI.
Gereja-gereja tersebut berakar dalam tradisi Protestanisme Kontinental. Akan tetapi,
dalam abad ke-20 masuklah pula tradisi Protestanisme Anglosaksis (negara-negara
berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat), yang diwakili oleh berbagai
denominasi: Metodis, Baptis, Adventis, Pentakosta, dan oleh badan-badan antar
denominasional, seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF). Gerakan
kharismatik yang masuk dalam tahun 1970-an, dapat dipandang pula sebagai cabang
Protestanisme Anglosaksis, khususnya Amerika. Di Indonesia, denominasi-denominasi
tersebut masing-masing diwakili oleh beberapa gereja, disebabkan perpecahan
yang terjadi setelah masuk ataupun karena memang sudah di tanam oleh utusan
dari berbagai badan. Kemudian di kalangan mereka juga muncul gerakan menuju
kesatuan ataupun kerjasama antara sesamanya. Gerakan itu menghasilkan Persekutuan
Injil Indonesia (PII 1972), dan Dewan Pentakosta Indonesia (DPI 1979). PII pada
hakikatnya merupakan persekutuan dan tempat kerja sama orang-orang,
badan-badan, dan gereja-gereja yang berpaham “injili” (evangelical), yang
hendak menghayati hubungan dan kerja sama di dalamnya. Dan DPI dapat dianggap
sebagai Dewan Gereja-gereja dari gereja-gereja yang berpaham Pentakosta. Antara
PII dan PGI dalam beberapa hal sudah terjalin hubungan dan kerja sama, tetapi
DPI belum bersedia melakukan pendekatan. Di pihak lain, beberapa gereja
beraliran Pentakosta sudah menjadi anggota PGI. Gereja-gereja Baptis telah
mendirikan Gabungan Gereja-gereja Baptis (1971, hanya meliputi sebagian
gereja-gereja itu) dan Aliansi Baptis (1981). Gereja Metodis Indonesia pun
tidak menjadi anggota PGI, tetapi memelihara hubungan dengan sesama gereja
Metodis di luar negeri.[6]
C. Kesatuan
Dalam Kepelbagaian
Indonesia
merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat dan
agama; sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. yang hidup
tersebar dalam ribuan pulau. Di samping keanekaragaman suku bangsa, Indonesia
juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai mayoritas. Kita patut
bersyukur kepada Tuhan, bahwa bangsa kita yang terdiri atas berbagai suku,
bahasa, dan agama tersebut, dapat bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[7]
Bhineka
Tunggal Ika adalah suatu semboyan nasional yang berarti “berbeda-beda tapi
tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan
bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu
disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah
bangsa yang kukuh. Dalam nafas Bhineka Tunggal Ika itu keragaman dipahami
sebagai asset yang berharga, sehingga menjadi bagian-bagian indah dalam mosaik
keindonoesiaan. Keragaman Indonesia terlihat dengan jelas pada aspek-aspek
geografis, etnis, sosio kultural dan agama. Jumlah pulau yang amat banyak,
suku-suku dengan bahasa, budaya, adat istiadat dan agama yang berbeda-beda
menampilkan kekayaan Indonesia yang tidak ternilai harganya. Kebinekaan yang
menjadi warna dari masyarakat dan bangsa Indonesia tetap mampu menonjolkan
keikaannya, karena adanya nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa
kita, yaitu gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, tenggang rasa, yang
kesemuanya memperkukuh semangat toleransi dan kerukunan di kalangan masyarakat
dan bangsa kita.[8]
Kesatuan bangsa Indonesia
adalah berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal
Ika, yang pada tahun 1998 diserukan dalam Seruan Bersama Majelis-majelis Agama
di Indonesia, yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI),
Parsida Hindu Dharma Indonesia (PARISADA), dan Perwalian Umat Budha Indonesia
(WALUBI), yang tergabung tergabung dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama,
yang pada poin ketiga berbunyi sebagai berikut:
(3) Kepada seluruh komponen bangsa agar
terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, mempertahankan kelestarian
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke; menggalang
kebersamaan serta mewujudkan persaudaraan yang tulus dan sejati tanpa
terkotak-kotak oleh sekat suku, agama, ras, dan antar golongan, tidak
dipilah-pilah berdasrkan kepentingan golongan, dan ikatan primordial. Seiring
dengan itu seluruh komponen bangsa diimbau untuk dapat menahan diri,
menciptakan iklim yang kondusif serta menjauhkan diri dari ucapan serta serta
sikap yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.[9]
Kesatuan bangsa dan negara harus diusahakan,
dipelihara dan diperkembangkan dalam konteks konsensus-konsensus nasional kita.
Artinya, kesatuan itu mesti kita laksanakan di dalam mendukung dan tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Itu berarti
kesatuan tidak boleh mengurangi dan membatasi kebebasan beragama, berbudaya dan
bernegara, melainkan justru mendukung kebebasan tersebut. Kebebasan harus dalam
keseimbangan yang dinamis, maksudnya kebebasan tidak boleh merusak kerukunan,
sebaliknya kerukunan tidak boleh mematikan kebebasan. Kesatuan dan persatuan
bangsa harus diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
tidak terkotak-kotak atau terpisah-pisah.[10]
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Keanekaragaman gereja
di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya denominasi gereja ada. Semakin
banyaknya denominasi gereja di Indonesia disebabkan oleh unsur
kesukuan/kedaerahan dan faktor masuknya denominasi-denominasi kebangunan atau
evangelical yang datang dari Amerika Serikat. Semakin banyaknya denominas
gereja membuat gereja-gereja di Indonesia berupaya untuk mencapai kerjasama dan
saling pengertian. Semua itu baru terwujud pada tanggal 25 Mei 1950, setelah
DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk
pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Namun, keesaan itu belum
terwujud karena masing-masing aliran gereja membentuk gerakan oikumenis
sendiri-sendiri.
Selain memiliki
keanekaragaman gereja, Indonesia merupakan masyarakat majemuk. yang beraneka
ragam suku bangsa, bahasa dan agama. Kita disatukan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan
memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap
satu. Oleh karena itu, kita wajib terus menerus memelihara serta memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Heuken. 2004. Ensiklopedi Gereja Jilid 2: C-G. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Van
Den End. 2009. Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
De
Jonge. 2014. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah
Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Sairin,
Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama: Pilar
Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[1]
Heuken, Ensiklopedi Gereja: 2, C-G (Jakarta:
Ikrar Mandiri Abadi, 2004), hal. 241.
[2]
Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 357-365.
[3]
Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 385-386.
[4] De
Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2014), hal. 86.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia/.
[6]
Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 392.
[7]
Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama:
Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal.
55-56.
[8]
Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama:
Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 14.
[9]
Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama:
Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal.
123-124.
[10] IBID, hal. 138.