Monday, November 7, 2016

Makalah PAK dalam Masyarakat Majemuk

I.      PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa , dan agama. Hal ini membuat Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang majemuk. Dalam konteks kemajemukan yang telah menjadi jati diri bangsa Indonesia, maka kesatuan dan kerukunan menjadi kata kunci yang penting bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan dan kerukunan dapat kita upayakan melalui toleransi antar umat beragama. Selain itu, mengenal dan memahami agama lain juga sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman. Dialog antar umat beragama juga diperlukan untuk menjaga kesatuan, membina kerukunan serta menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi, agar nantinya tidak terjadi konflik antar agama.
Sebagai orang Kristen yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita juga hidup dalam bingkai agama Kristen yang terdiri dari berbagai denominasi. Mengenal dan memahami denominasi lain, melakukan dialog serta bertoleransi dengan denominasi lain harus kita upayakan demi tercapainya keesaan dan kerukunan antar gereja. Gereja adalah Tubuh Kristus. Oleh karena sebagaimana Tubuh Kristus yang adalah satu, gereja-gereja juga harus bersatu dalam suatu wadah Oikumenis.
II.    PEMBAHASAN

A.   Keanekaragaman Gereja di Indonesia
Agama Kristen di Indonesia memiliki banyak denominasi gereja, mulai dari GPI (Gereja Protestan di Indonesia), sampai pada gereja kharismatik. Gereja Protestan di Indonesia merupakan kelanjutan dari Indische Kerk dengan tradisi Kalvinis; mencakup Gereja Masehi Injili di Minahasa (1934), Gereja Protestan Maluku (1935), Gereja Masehi Injili di Timor (1947), Gereja Toraja (1947), Gereja Protestan di Indonesia Bahagian Barat (GPIB, 1948), Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (1957), Gereja Protestan di Indonesia di Gorontalo (1965), Gereja Protestan Indonesia di Donggala (1965), Gereja Protestan di Indonesia di Buol/Tolitoli (1964), Gereja Kristen Luwuk Banggai (1966), Gereja Protestan Indonesia di Irian Jaya (1985).[1]
Seiring waktu, jumlah gereja bertambah besar dan kekristenan Indonesia semakin beraneka ragam. Penyebab yang pertama ialah mekarnya beberapa gereja akibat unsur kesukuan/kedaerahan, selajutnya karena faktor lain. Demikianlah di Sumatera Utara lahirlah GKPS, GKPI dan HKBP-Angkola (kemudian GKPA), yang melepaskan diri dari HKBP. Di Nias, lahirlah AMIN dan ONKP. Di Sulawesi berdiri GKLB dan GPIL. Penyebab lain bertambahnya gereja di Indonesia adalah masuknya atau perluasan pengaruh denimonasi-denominasi jenis kebangunan. Denominasi-denominasi tersebut antara lain kaum Adventis, Baptis, Metodis, Pentakosta dan juga Injili.
Aliran kebangunan ini datang dari negara-negara Anglosaksis, khususnya dari kalangan kebangunan atau evangelical di Amerika Serikat. Ia masuk ke Indonesia dalam wadah denominasi-denominasi baru (Pentakosta dll), tetapi berpengaruh juga dalam gereja-gereja tradisional, khususnya di jemaat-jemaat kota. Wadahnya di sini ialah gerakan kharismatis, kelompok doa, juga buku-buku Kristen yang diterjemahkan dari buku asli berbahasa Inggris dan yang disebarkan dalam jumlah besar oleh berbagai penerbit.  Ajarannya menekankan akan kesalehan yang hangat, penebusan dosa oleh darah Yesus Kristus, dan kesucian hidup, sehingga menyebabkan aliran ini mudah diterima oleh orang-orang Kristen. Namun aliran kebangunan dari Amerika ini tidak menyenangi pola gereja calvinis. Secara khusus mereka menolak kebiasaan membaptis anak-anak orang percaya, maka masuknya aliran tersebut disamping menjadi sebab berdirinya sebuah gereja baru, menimbulkan pula ketegangan di beberapa gereja yang telah berdiri sebelumnya.[2]

B.   Keesaan Gereja di Indonesia
Keesaan gereja di Indonesia diwujudkan dalam gerakan oikumenis oleh gereja-gereja di Indonesia. Sampai sekitar tahun 1850, di Indonesia belum terdapat gerakan oikumenis, sebab belum ada kepelbagaian gereja. Begitu pelbagai gereja lahir, segera pula muncul upaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Hingga perang dunia kedua, usaha-usaha itu diprakarsai dan dilakukan oleh orang eropa. Mula-mula yang diusahakan hanya kerjasama dan pendekatan antara perseorangan. Dalam abad ke-20 mulai dipikirkan pula kerjasama dan kesatuan antara gereja-gereja. Orang Indonesia makin banyak dilibatkan dalam usaha ini, dan sejak tahun 1945 gerakan oikumenis menjadi urusan orang Indonesia sendiri. Wadah oikumenis yang utama dalam lingkungan protestan di Indonesia ialah DGI/PGI. Di samping itu terdapat beberapa badan yang menyatukan gereja-gereja yang berasal dari tradisi Anglosaksis (AS).
Pada tahun 1946-1947 dibentuklah dua dewan yang boleh disebut sebagai Dewan Gereja-gereja Wilayah, yakni “Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja di Indonesia (DPG) dan Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen (MOBK)”. MOBK inilah yang menjadi perintis pembentukan DGI. Pembentukan DGI secara langsung menjadi pokok pembicaraan dalam Sidang Sinode Am GPI yang ke-empat di Bogor (1948). GPI menyatakan mendukung pembentukan majelis Kristen di Indonesia. Dukungannya terbukti dengan terpilihnya sekum MOBGK, Pendeta W. J. Rumambi, menjadi sekum badan pekerja GPI.[3]
Pada Januari 1948, Rumambi menulis nota kepada panitia yang menyiapkan pembentukan Majelis Gereja-gereja Kristen di Indonesia yang berisi beberapa usulan bagaimana pembentukan dewan dengan menggunakan pengalaman keikutsertaanya dalam beberapa sidang (IMC di Whitby, tahun 1947; konferensi pemuda di Oslo, tahun 1947). Pada tahun 1949, diusahakan pendirian DGI sebelum Konferensi East Asia Christian Conference di Bangkok, namun tidak tercapai. Selanjutnya pada tanggal 6-11 November 1949 diadakan Konperensi Persiapan Dewan Geredja-geredja di Indonesia.[4]
Pada tanggal 21-28 Mei 1950 diadakan Konferensi Pembentukan Dewan Gereja-gereja di Indonesia, bertempat di Sekolah Theologia Tinggi (sekarang STT Jakarta). Salah satu agenda dalam konferensi tersebut adalah pembahasan tentang Anggaran Dasar DGI. Pada tanggal 25 Mei, Anggaran Dasar DGI disetujui oleh peserta konferensi dan tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dalam sebuah "Manifes Pembentoekan DGI":
“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan Geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan Geredja-geredja di Indonesia, jang soedah ditetapkan oleh Sidang pada 25 Mei 1950.
Kami pertjaja, bahwa Dewan Geredja-Geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oemat-Nja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini.”
Jadi, hasil dari konferensi ini adalah, ditetapkannya kepastian pembentukan DGI pada bulan Mei 1950. Seluruh persiapan pun dimatangkan, dan akhirnya dalam konferensi yang dilaksanakan tanggal 21 - 28 Mei 1950 ini membuahkan hasil. Pada tanggal 25 Mei 1950, DGI terbentuk. DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia.[5]
DGI/PGI pada hakikatnya menggabungkan gereja-gereja yang dihasilkan oleh karya zending Belanda dan Jerman, di samping gereja-gereja yang berasal dari PGI. Gereja-gereja tersebut berakar dalam tradisi Protestanisme Kontinental. Akan tetapi, dalam abad ke-20 masuklah pula tradisi Protestanisme Anglosaksis (negara-negara berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat), yang diwakili oleh berbagai denominasi: Metodis, Baptis, Adventis, Pentakosta, dan oleh badan-badan antar denominasional, seperti Overseas Missionary Fellowship (OMF). Gerakan kharismatik yang masuk dalam tahun 1970-an, dapat dipandang pula sebagai cabang Protestanisme Anglosaksis, khususnya Amerika. Di Indonesia, denominasi-denominasi tersebut masing-masing diwakili oleh beberapa gereja, disebabkan perpecahan yang terjadi setelah masuk ataupun karena memang sudah di tanam oleh utusan dari berbagai badan. Kemudian di kalangan mereka juga muncul gerakan menuju kesatuan ataupun kerjasama antara sesamanya. Gerakan itu menghasilkan Persekutuan Injil Indonesia (PII 1972), dan Dewan Pentakosta Indonesia (DPI 1979). PII pada hakikatnya merupakan persekutuan dan tempat kerja sama orang-orang, badan-badan, dan gereja-gereja yang berpaham “injili” (evangelical), yang hendak menghayati hubungan dan kerja sama di dalamnya. Dan DPI dapat dianggap sebagai Dewan Gereja-gereja dari gereja-gereja yang berpaham Pentakosta. Antara PII dan PGI dalam beberapa hal sudah terjalin hubungan dan kerja sama, tetapi DPI belum bersedia melakukan pendekatan. Di pihak lain, beberapa gereja beraliran Pentakosta sudah menjadi anggota PGI. Gereja-gereja Baptis telah mendirikan Gabungan Gereja-gereja Baptis (1971, hanya meliputi sebagian gereja-gereja itu) dan Aliansi Baptis (1981). Gereja Metodis Indonesia pun tidak menjadi anggota PGI, tetapi memelihara hubungan dengan sesama gereja Metodis di luar negeri.[6]

C.   Kesatuan Dalam Kepelbagaian
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa, adat istiadat dan agama; sehingga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk. yang hidup tersebar dalam ribuan pulau. Di samping keanekaragaman suku bangsa, Indonesia juga menganut berbagai agama dengan Islam sebagai mayoritas. Kita patut bersyukur kepada Tuhan, bahwa bangsa kita yang terdiri atas berbagai suku, bahasa, dan agama tersebut, dapat bersatu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.[7]
Bhineka Tunggal Ika adalah suatu semboyan nasional yang berarti “berbeda-beda tapi tetap satu. Semboyan ini lahir sebagai refleksi atas realitas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tetapi justru menjadi tiang-tiang penyangga bagi hadirnya sebuah bangsa yang kukuh. Dalam nafas Bhineka Tunggal Ika itu keragaman dipahami sebagai asset yang berharga, sehingga menjadi bagian-bagian indah dalam mosaik keindonoesiaan. Keragaman Indonesia terlihat dengan jelas pada aspek-aspek geografis, etnis, sosio kultural dan agama. Jumlah pulau yang amat banyak, suku-suku dengan bahasa, budaya, adat istiadat dan agama yang berbeda-beda menampilkan kekayaan Indonesia yang tidak ternilai harganya. Kebinekaan yang menjadi warna dari masyarakat dan bangsa Indonesia tetap mampu menonjolkan keikaannya, karena adanya nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa kita, yaitu gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, tenggang rasa, yang kesemuanya memperkukuh semangat toleransi dan kerukunan di kalangan masyarakat dan bangsa kita.[8]
Kesatuan bangsa Indonesia adalah berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhineka Tunggal Ika, yang pada tahun 1998 diserukan dalam Seruan Bersama Majelis-majelis Agama di Indonesia, yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parsida Hindu Dharma Indonesia (PARISADA), dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), yang tergabung tergabung dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, yang pada poin ketiga berbunyi sebagai berikut:
(3) Kepada seluruh komponen bangsa agar terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, mempertahankan kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke; menggalang kebersamaan serta mewujudkan persaudaraan yang tulus dan sejati tanpa terkotak-kotak oleh sekat suku, agama, ras, dan antar golongan, tidak dipilah-pilah berdasrkan kepentingan golongan, dan ikatan primordial. Seiring dengan itu seluruh komponen bangsa diimbau untuk dapat menahan diri, menciptakan iklim yang kondusif serta menjauhkan diri dari ucapan serta serta sikap yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.[9]
Kesatuan bangsa dan negara harus diusahakan, dipelihara dan diperkembangkan dalam konteks konsensus-konsensus nasional kita. Artinya, kesatuan itu mesti kita laksanakan di dalam mendukung dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Itu berarti kesatuan tidak boleh mengurangi dan membatasi kebebasan beragama, berbudaya dan bernegara, melainkan justru mendukung kebebasan tersebut. Kebebasan harus dalam keseimbangan yang dinamis, maksudnya kebebasan tidak boleh merusak kerukunan, sebaliknya kerukunan tidak boleh mematikan kebebasan. Kesatuan dan persatuan bangsa harus diletakkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak terkotak-kotak atau terpisah-pisah.[10]



III.   PENUTUP

Kesimpulan

Keanekaragaman gereja di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya denominasi gereja ada. Semakin banyaknya denominasi gereja di Indonesia disebabkan oleh unsur kesukuan/kedaerahan dan faktor masuknya denominasi-denominasi kebangunan atau evangelical yang datang dari Amerika Serikat. Semakin banyaknya denominas gereja membuat gereja-gereja di Indonesia berupaya untuk mencapai kerjasama dan saling pengertian. Semua itu baru terwujud pada tanggal 25 Mei 1950, setelah DGI terbentuk.  DGI bertujuan untuk pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia. Namun, keesaan itu belum terwujud karena masing-masing aliran gereja membentuk gerakan oikumenis sendiri-sendiri.
Selain memiliki keanekaragaman gereja, Indonesia merupakan masyarakat majemuk. yang beraneka ragam suku bangsa, bahasa dan agama. Kita disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu. Oleh karena itu, kita wajib terus menerus memelihara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Heuken. 2004. Ensiklopedi Gereja Jilid 2: C-G. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.
Van Den End. 2009.  Ragi Carita 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
De Jonge. 2014. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sairin, Weinata. 2006. Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: BPK Gunung Mulia.




[1] Heuken, Ensiklopedi Gereja: 2, C-G (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2004), hal. 241.
[2] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 357-365.
[3] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 385-386.
[4] De Jonge, Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), hal. 86.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-gereja_di_Indonesia/.
[6] Van Den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), hal. 392.
[7] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 55-56.
[8] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 14.
[9] Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama: Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 123-124.
[10] IBID, hal. 138.

Rangkuman Evaluasi Kinerja Guru dan PBM

Evaluasi Kinerja Guru dan PBM
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, evaluasi kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya.
Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Evaluasi Kinerja Guru memiliki 2 fungsi utama
      Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
      Untuk menghitung angka keberhasilan yang diperoleh guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut.
Kriteria Evaluasi Kinerja Guru
Yang menjadi kriteria penilaian kinerja guru adalah kompetensi guru. Berdasarkan UU Sisdiknas Nomor 14 pasal 10 tentang guru dan dosen, disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial
      Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
      Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
      Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
      Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Evaluasi Proses Belajar Mengajar
Penilaian proses belajar-mengajar bertujuan agak berbeda dengan penilaian hasil belajar . Apabila penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada derajat penguasaan tujuan (Instruksional) oleh para siswa, maka tujuan penilaian  proses belajar mengajar lebih ditekankan pada perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar itu sendiri, terutama efisiensi, keefektifan, dan produktivitasnya. Beberapa di antaranya adalah: efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan instruksional, keefektifan dan relevansi bahan pengajaran, produktivitas kegiatan belajar mengajar, keefektifan sumber dan sarana pengajaran, keefektifan penilaian hasil dan proses belajar.

Kriteria Penilaian Proses Belajar Mengajar
      Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum
      Keterlaksanaannya oleh guru
      Keterlaksanaannya oleh siswa
      Motivasi belajar siswa
      Keefektifan para siswa dalam kegiatan belajar
      Interaksi guru dengan siswa
      Kemampuan atau keterampilan guru mengajar
      Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa


Raikes dan Sekolah Minggu

Sejarah Perkembangan Sekolah Minggu

A.   Latar Belakang Berdirinya Sekolah Minggu
Sejak dahulu, anak-anak merupakan bagian atau bagian penting dalam gereja Kristen. Sekolah minggu merupakan sarana untuk anak-anak memperoleh PAK (Pendidikan Agama Kristen). Gerakan sekolah minggu dimulai pada tahun 1780 di Gloucester, Inggris oleh Robert Raikes. Sekolah minggu adalah sekolah untuk anak-anak terlantar (“Ragged School”) dimana mereka diajar membaca, menulis dan berhitung.[1]
Tidak ada pokok yang lebih penting yang berkaitan dengan berdirinya Sekolah Minggu daripada pembahasan pokok mengenai Revolusi Industri. Pentingnya pokok ini tampak bila diingat bahwa Sekolah Minggu merupakan salah satu jawaban sederhana terhadap dampak negatif dari revolusi atas diri kaum buruh yang dimulai di Inggris, khususnya para buruh yang masih muda sekali. Para buruh ini merupakan hasil dari “masyarakat mesin” baru.
Berawal dari perkembangan teknologi yang menyebabkan pergeseran tenaga kerja manusia ke tenaga mesin uap. Penemuan mesin uap  yang seharusnya menjadi dampak yang positif ternyata justru sebaliknya. Mungkin bagi para pengusaha hal ini merupakan dampak yang positif namun bagi kaum miskin menjadi suatu dampak yang negatif.
Masa perkembangan ini lebih dikenal dengan istilah “Revolusi Industri” dan revolusi ini berpusat di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Revolusi industri memaksa para orang tua bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan yang lebih menyedihkan ialah anak-anak terpaksa meninggalkan zona yang semestinya mereka berada yaitu sekolah. Karena kebutuhan ekonomi akhirnya para anak-anak bekerja di pabrik-pabrik dengan upah yang minim. Mereka kehilangan masa-masa yang seharusnya mereka bisa bercanda dan bermain bersama keluarga dan teman.
Tentunya hal ini menyebabkan tingkat kriminal di Inggris terus meningkat yang sangat mempengaruhi generasi bangsa. Akan tetapi pada waktu itu pemerintahan di Inggris hanya terfokus pada pemberantasan dan memberikan hukuman tanpa mencari tahu penyebab utamanya. Padahal penyebab utamanya ialah tidak adanya pendidikan anak yang layak. Karena pendidikan anak itu sangatlah penting untuk perkembangan moral dan intelektual bagi si anak itu sendiri.
Kondisi ini membuat hati  seorang pemilik media cetak di Gloucester Inggris tergerak untuk menyelesaikan masalah ini. Ia adalah “Robert Raikes”. Awalnya ia hanya terfokus pada para narapidana yang dipenjara. Karena terlalu tinggi tingkat kriminalnya menyebabkan penjara itu penuh. Raikes mengambil langkah dengan cara melakukan pendekatan langsung dan ia juga mengambil beberapa persen hasil penjualan korannya untuk biaya para narapidana. Bagi Raikes narapidana di Gloucester ini adalah korban atas revolusi industri.
Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh Raikes akan tetapi ia juga melakukan kritik kepada pemerintah melalui surat kabar yang dicetaknya. Bahkan Adam Smith juga meluncurkan kritikan terhadap pemerintah Inggris. Dalam karangannnya yang termasyhur yaitu “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation”, ia berdalil bahwa kekayaan Inggris terdiri atas tenaga kerja  dan bukan beratnya  emas dan juga tidak pada kekayaan yang berporos pada sejumlah hektar lahan yang dimilkinya. Smith berkata “setiap orang cenderung mencari keuntunganya sendiri”, namun usahanya tetap tidak di perhatikan oleh pemerintah.[2]

B.   Riwayat Robert Raikes
Robert Raikes (lahir 14 September 1736 – meninggal 5 April 1811 pada umur 74 tahun) adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah minggu. Ia lahir di Gloucester pada 1736, anak sulung dari pasangan Mary Drew dan Robert Raikes seorang penerbit surat kabar di Inggris. Ia dibaptis pada tanggal 24 September 1736 di gereja St. Mary de Crypt di Gloucester. Pada 23 Desember 1767, ia menikah dengan Anne Trigge, seorang wanita yang berasal dari keluarga terhormat, dan dikaruniai tiga anak laki-laki dan tujuh anak perempuan.
Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah milik Gereja St. Mary de Crypt tempat ia dibaptiskan. Setelah lulus pendidikan dasar, pada usia empat belas tahun, ia melanjutkan studi di sekolah Katedral Gloucester. Suasana sekolah ini begitu ketat. Anak-anak dididik dengan kurikulum yang klasik. Pada pukul enam pagi, mereka mengawalinya dengan ibadah. Ibadah dimulai dengan pembacaan mazmur, doa, renungan, dan nyanyian rohani. Di sekolah ini, para murid dituntut menguasai beberapa bahasa, antara lain bahasa Yunani, Latin, dan Prancis.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Katedral Gloucester, Raikes tidak melanjutkan pendidikannya. Ia lebih tertarik pada pekerjaan yang digeluti ayahnya di bidang percetakan. Pada 1757, ia diwariskan perusahaan milik ayahnya yakni Gloucester Journal. Karena kemampuannya di bidang penerbitan dan percetakan, pada usia 21 tahun, ia telah mengambil alih seluruh urusan yang berkaitan dengan penerbitan Gloucester Journal.
Pada usia mudanya, Robert aktif pada bidang sosial, khususnya menolong mereka yang miskin dan berada di penjara. Untuk menolong mereka, ia melakukan berbagai upaya, antara lain mengumpulkan dana- untuk peningkatan kondisi kesehatan di penjara dan perlakuan yang lebih manusiawi- dan menyelenggarakan pembinaan bagi para napi.[3] Robert Raikes dikenal sebagai penggagas sekolah minggu. Pada abad 18, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi yang sangat parah sebagai akibat Revolusi Industri. Robert Raikes melihat banyak anak-anak yang harus menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik sebagai buruh kasar dan bekerja enam hari dalam seminggu, yaitu pada hari senin hingga sabtu. Hari minggu mereka libur. Oleh karena itu, pada hari Minggu, mereka menjadi liar dikarenakan hanya pada hari inilah mereka bisa beriang gembira. Kebanyakan dari mereka menghabiskan uang penghasilan mereka dengan hal-hal yang tidak berguna seperti minum-minuman keras.
Melihat keadaan itu, Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia kemudian memulai sekolah minggu ini di dapur Ny. Mederith di kota Scooty Alley pada Juli 1780. Di sana, selain mendapat makanan, anak-anak diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Menurut Raikes, buku pelajaran yang terbaik yang bisa dipakai adalah Alkitab.
Dalam dua tahun, sekolah minggu dibuka di beberapa sekolah dan di sekitar Gloucester. Raikes kemudian mempublikasikan sekolah minggu melalui Gentleman's Magazine, dan juga Arminian Magazine pada 1784. Akhirnya atas bantuan John Wesley (pendiri Gereja Methodis), kehadiran sekolah minggu diterima juga oleh gereja, mula-mula oleh Gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja Protestan lain. Pada tahun 1831, sekolah minggu di Inggris telah mengajar 1.250.000 anak, sekitar 25 persen dari populasi.[4]
C.   Berdirinya Sekolah Minggu
Pada tahun 1780 Raikes pergi kerumah seorang tukang kebun dan dia melihat kebanyakan pekerjanya adalah anak-anak. Seorang Ibu mengeluhkan kenakalan anak-anak pada hari Minggu, lalu ia memohon dengan sangat agar Raikes berbuat sesuatu. Setelah pulang ke rumah, Raikes mengambil keputusan untuk melakukan percobaan dengan sekolah sederhana bagi anak miskin.
Untuk mendidik anak-anak, Raikes meminta bantuan seorang ibu dan Raikes sendiri yang membayar gajinya. Atas permintaan seorang editor surat kabar yang baik, Robert Raikes, ibu Meredith menerima segerombolan anak jalanan ke dapur rumahnya di Sooty Alley. Raikes bahkan membayar ibu Meredith satu shilling setiap hari Minggu untuk mengajar anak-anak berpakaian compang-camping ini membaca Alkitab dan mengulanginya di luar kepala. Tetapi anak-anak ini luar biasa bandel. Terkungkung di sebuah pabrik yang basah dan gelap di Gloucester, Inggris, selama enam hari dalam satu minggu, mereka hanya dapat kesempatan bergembira ria pada hari Minggu, dan pada hari-hari Minggu itulah mereka menjadi liar. Setiap Minggu para petani dan pemilik toko merasa takut pada kenakalan anak-anak ini. Robert Raikes berharap bahwa “Sekolah Minggu” ini akan mengubah hidup mereka, namun mereka membawa kebiasaan mereka yang menjijikkan dan mengerikan itu ke dapur ibu Meredith. Namun dengan kenakalan anak-anak, ibu ini tidak mampu dan berhenti mendidik anak-anak miskin itu, Ibu Meredith tidak sanggup menanganinya.
Raikes tidak membiarkan niatnya pupus. Ia memindahkan sekolah Minggunya ke dapur Ny. King tempat May Critchley mengajar mereka dari pukul sepuluh sampai pukul dua belas siang dan dari pukul satu sampai dengan pukul lima pada petang hari. Ia menghendaki anak-anak hadir setelah tangan dicuci dan rambut disisir. Dalam waktu yang singkat anak-anak itu mau belajar. Tidak lama kemudian terkumpul sembilan puluh anak menghadiri sekolah Minggu pada setiap hari Minggu. Perlahan-lahan mereka belajar membaca.
Hal ini bukanlah upaya pertama Raikes bagi pembaruan masyarakat. Sebagai seorang Gloucester Journal yang berpikiran liberal, ia sangat sadar akan roda kemiskinan dan kriminalitas. Orang-orang yang tidak dapat membayar utang dipenjarkan dan bila mereka keluar, tidak ada kehidupan bagi mereka. Maka mereka terdorong berbuat kejahatan. Selama bertahun-tahun Raikes berupaya bekerja bersama mantan napi, untuk membantu mereka agar tidak berbuat kejahatan, namun sia-sia.
“Dunia bergerak maju di atas kaki anak-anak kecil.” Kalimat yang berasal dari Raikes itu mengungkapkan pemikiran sekolah Minggu ini. Para orang dewasa telah berjalan terlalu jauh,  tetapi anak-anak baru memulainya.
Masalah yang dihadapinya ialah ketidaktahuan. Anak-anak (dari keluarga) kurang mampu tidak pernah mendapatkan kesempatan pergi ke sekolah mereka harus bekerja untuk membantu keluarga. Akibatnya, mereka tidak dapat beranjak dari kemiskinan. Namun, jika mereka dapat  belajar pelajaran dasarnya membaca, menulis, berhitung dan moralitas alkitabia pada hari libur satu harinya, suatu saat mereka mungkin mengubah semuanya itu.
Jadi, eksperimen itu berawal dari Sooty Alley. Lambat-laun ide ini bertumbuh. Pada tahun 1783, dengan kepercayaan diri bahwa eksperimennya telah berhasil, Raikes mulai mengumumkannya dalam hariannya. Dengan hati-hati ia melaporkan alasan dan hasilnya. Ide tersebut menjadi populer.
Orang-orang Kristen yang terpandang mendukung ide tersebut. John Wesley menyukainya, dan kelompok Wesley pun mulai melakukannya. Penulis populer, Hannah More, mengajar agama dan memintal pada gadis-gadis di Cheddar. Seorang pedagang dari London, William Fox, pernah menyumbangkan ide serupa, namun memutuskan menunjang proyek Raikes. Pada tahun 1785,  Fox mendirikan perkumpulan untuk menunjang dan mendukung banyak sekolah Minggu di berbagai kawasan di Inggris.
Ratu Charlotte pun membenarkan sekolah Minggu tersebut. Ia memanggil Raikes untuk mendengarkan hal itu dan kemudian ia mengizinkan namanya dipakai untuk upaya pengumpulan dana yang dilaksanakan Fox.
Kemasyhuran membawa pertentangan juga dari para konservatif yang takut akan terganggunya hari Sabat oleh para pedagang, yang khawatir akan kehilangan bisnis pada hari Minggu. Ada beberapa teman Raikes yang mengejeknya “Bobby Wild Goose (pengejar sesuatu yang tidak mungkin tercapai) dan Resimen Gembelnya”.
Namun, hingga tahun 1787, ada seperempat juta anak-anak menghadiri sekolah Minggu di Inggris. Lima puluh tahun kemudian, ada 1,5 juta anak di seluruh dunia yang dididik oleh 160.000 tenaga pengajar. Yang menggembirakan ialah perkembangan Manchester pada tahun 1835. Sekolah Minggu tersebut terdiri dari 120 tenaga pengajar, yang 117 di antara mereka adalah mantan murid-murid sekolah-sekolah Minggu itu sendiri.[5]
Dari hasil yang telah dicapai Raikes, ada beberapa pihak yang tidak senang dengan apa yang telah dia lakukan. Misalnya Perdana Menteri Pitt, pemilik pabrik, bahkan dari pihak gereja. Ia juga mendapat kecaman dari pendeta-pendeta. Dalam sejarah PAK, Raikes dihargai sebagai seorang awam dengan hati nurani yang di bentuk oleh hubungannya dengan iman Kristen.[6]
D.   Gambaran Tentang Beberapa Sekolah Minggu Pertama
Tahun 1784, Raikes mencetak peraturan-peraturan bagi  Sekolah Minggu yang disusun oleh Pdt. W. Ellis, yang akan dipakai oleh Sekolah Minggu di Sttroud. Di Boughton, daerah Kent, pembukaan Sekolah Minggu diumumkan dengan tujuan:
                  Untuk membuka peluang pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin di daerah ini, tanpa mengganggu pekerjaan mereka pada hari kerja biasa, dan untuk membiasakan anak-anak sejak usia muda untuk selalu beribadah setiap hari Minggu serta menghabiskan jam senggang pada hari Minggu melalui kegiatan yang baik dan teratur. Anak itu akan diajari membaca, mengenal tanggung jawab seorang Kristen, khususnya untuk belajar rajin dan berkelakuan baik sesuai dengan keperluannya sebagai buruh dan pembantu di kemudian hari.
Tahun 1784, di kota Leeds terdapat 26 sekolah dengan 2000 pelajar yang diajar oleh 45 orang guru. Tahun 1785 didirikan The Sunday School Society (Perhimpunan Sekolah Minggu). Selama 10 tahun pertama, perhimpunan itu telah membagi-bagikan 91915 buah buku untuk mengajarkan anak membaca, 24232 buah Kitab PL/PB, dan 5360 Alkitab. Sumbangan itu dipakai oleh 65000 anak-anak yang belajar pada 1012 Sekolah Minggu. Selama 28 tahun berdirinya Sekolah Minggu, ada sekitar 400000 anak didik di Inggris. Kurikulum Sekolah Minggu pada waktu itu antara lain kedisiplinan, membaca, menulis, menghitung, pengetahuan Alkitab, dan pelajaran katekimus.[7]
E.   Pertumbuhan Sekolah Minggu
1.    Sekolah Minggu di Amerika
Tahun 1790, Benyamin Rush, Matthew Carey dan William White mendirikan Perserikatan Hari Pertama, untuk mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Tahun 1816, Ibu Joanne Bethune mendirikan Perserikatan Wanita bagi Kemajuan Sekolah Sabat di New York. Tahun 1824, para memimpin Sekolah Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu di Amerika) di kota Philadelphia.
Dalam sidang raya tahun 1830, ditetapkan tujuan yang berlaku untuk dua tahun mendatang, yaitu untuk mendirikan Sekolah Minggu pada setiap pelosok daerah yang luasnya meliputi seluruh lembah Mississippi.Kurikulumnya berupa pelajaran membaca, menulis, dan pelajaran Alkitab. Hasil Pelayanan Union Sunday School antara lain banyak kelompok anak-anak yang diajar membaca, menulis dan belajar Alkitab. Banyak Sekolah Minggu yang bertumbuh menjadi  sekolah negeri dan jemaat yang beribadah.
Ada dua orang pekerja Sunday School yang sangat menonjol dalam mengembangkan Sekolah Minggu. Kedua orang itu adalah John McCullagh dan Stephen Paxson. Selama jangka waktu 20 tahun Stephen Paxson telah mendirikan lebih dari 1200 Sekolah Minggu. Kebanyakan sekolah itu kelak bertumbuh menjadi jemaat.[8]
2.    Sekolah Minggu di Jerman
Pendirian Sekolah Minggu di Jerman diprakarsai pada tahun 1860 oleh Wilhelm Broeckelmann dan Albert Woodruff. Keduanya adalah wakil dari Perserikatan Sekolah Minggu London. Sekolah Minggu di Jerman hendak mengajar anak-anak miskin untuk membaca, meniulis dan berhitung disamping membimbing mereka ke dalam iman Kristen. Di Jerman, gagasan Sekolah Minggu di-Jermankan menjadi Kindergottesdients (kebaktian anak-anak). Sesuai dengan namanya, maka titik beratnya adalah kebangunan rohani dalam diri anak-anak melalui kebaktian dan bimbingan dari Alkitab.[9]
3.    Sekolah Minggu di Belanda
Gagasan Sekolah Minggu dibawa oleh Dr. Abraham Capadose ke Belanda dari Swiss, pada bulan Oktober tahun 1836 di kota Grevenhage. Pada tahun 1841 sebuah Sekolah Minggu didirikan di kota Amsterdam dan pada tahun 1847 di kota Rotterdam. Pertumbuhan paling besar terjadi pada tahun 1857, oleh karena keputusan pemerintah Belanda yang melarang penggunaan Alkitab dalam Sekolah Negeri. Awal tahun 1858 sudah ada 50 buah Sekolah Minggu di Belanda. Tanggal 23 Oktober 1865 diadakan mufakat tentang jenis organisasi Sekolah Minggu di Belanda. Organisasi itu di sebut Nederlandse Zondaggschool Vereniging (Perkumpulan Sekolah Minggu Belanda). Akhirnya, jumlah sekolah minggu di Belanda bertambah dan menjadi bagian dari pelayanan gereja.[10]
Melihat keberhasilan Raikes, gereja kemudian mengambil alih model pelayanan itu menjadi pekabaran Injil. Di abad ke-20 muncul bahan mengajar pelajaran sekolah minggu yang berjenjang, dan mulai terjadi pergeseran dari maksud utama untuk pekabaran Injil menjadi ajang pembinaan. Gereja memakai pembinaan ini menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan anak-anak kepada Kristus. Akhir abad ke-19 sampai awal ke-20, muncul kesadaran untuk menangani Sekolah minggu secara lebih professional. Ilmu pendidikan mulai diterapkan. Pada tahun 1922 berdirilah “Internasional Sunday School Council of Religious Education”, yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi “The Internasional Council of Religious Education”. Dengan berdirinya ke 2 lembaga tersebut, Sekolah minggu menjadi semakin maju, dengan teori-teori pendidikan yang modern, yang lebih berpusat pada anak.[11]



DAFTAR PUSTAKA


Ismail, Andar.  2003. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Boehlke, Robert. 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kadarmanto, Ruth. 2009. Tuntunlah ke Jalan yang Bena: Panduan Mengajar Anak di Jemaat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Curtis, dkk. 2007. 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.




[1] Andar Ismail, 2003, Ajarlah Mereka Melakukan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), Hal. 7.
[2] Boehlke, 2009. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 375-378.
[3] Kadarmanto R, 2009, Tuntunlah ke Jalan yang Benar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 26.
[4] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 379-390.
[5] Curtis dkk, 2007, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal. 111-113.
[6] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 390-393.
[7] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 393-398.
[8] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 398-416.
[9] Ibid Hal 417-418.
[10] Boehlke, 2009, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), Hal 418-421.
[11] Lie Paulus, 2008, Mereformasi Sekolah Minggu, (Bandung: ANDI), hal. 110-111.

Evaluasi Kinerja Guru dan PBM

I.      PENDAHULUAN

Evaluasi merupakan terjemahan bahasa Inggris evaluation yang identik dengan penilaian. Istilah lain yang mempunyai makna hampir sama dengan evaluasi adalah assessment dan measurement (pengukuran). Membahas evaluasi tidak akan terlepas dari pengukuran dan penilaian. Evaluasi diartikan sebagai proses menetapkan pertimbangan nilai berdasarkan pada peristiwa tentang suatu program atau produk. Kata kunci dari pengertian evaluasi adalah proses, pertimbangan dan nilai. Jadi evaluasi merupakan suatu proses yang dilakukan terhadap suatu kegiatan.
Secara umum evaluasi diartikan sebagai penilaian terhadap suatu perencanaan yang telah dilakukan oleh suatu organisasi yang bisa dilakukan pada pertengahan bulan, akhir bulan atau pertengahan tahun atau akhir tahun. Evaluasi kinerja guru adalah evaluasi yang dilakukan kepada semua guru yang ada di dalam suatu organisasi pendidikan pada tahap akhir setelah melalui tahap-tahap penelitian, perencanaan dan penggiatan.
Evaluasi guru sangat bermanfaat untuk menilai keberhasilan guru dalam melaksanakan pekerjaannya, di antaranya antara lain keberhasilan guru dalam merencanakan rancangan pembelajaran, dalam melakukan pengelolaan pembelajaran, dalam membina hubungan dengan siswa, dan dalam melakukan penilaian. Penilaian kinerja guru juga bermanfaat untuk meninjau kemampuan yang ada dan menentukan bentuk pembinaan yang dibutuhkan guna meningkatkan kinerja yang ada.





II.    PEMBAHASAN

I.      Evaluasi Kinerja Guru
Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, evaluasi kinerja guru adalah penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir, kepangkatan, dan jabatannya. Pelaksanaan tugas utama guru tidak dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi yang dibutuhkan sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Penguasaan kompetensi dan penerapan pengetahuan serta keterampilan guru, sangat menentukan tercapainya kualitas proses pembelajaran atau pembimbingan peserta didik, dan pelaksanaan tugas tambahan yang relevan bagi sekolah/madrasah, khususnya bagi guru dengan tugas tambahan tersebut. Sistem evaluasi kinerja guru adalah sistem penilaian yang dirancang untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya melalui pengukuran penguasaan kompetensi yang ditunjukkan dalam unjuk kerjanya.
II.    Fungsi dan tujuan Evaluasi Kinerja Guru
Secara umum, evaluasi kinerja guru memiliki 2 fungsi utama sebagai berikut:
a.    Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah. Dengan demikian, profil kinerja guru sebagai gambaran kekuatan dan kelemahan guru akan teridentifikasi dan dimaknai sebagai analisis kebutuhan atau audit keterampilan untuk setiap guru, yang dapat dipergunakan sebagai basis untuk merencanakan PKB.
b.    Untuk menghitung angka keberhasilan yang diperoleh guru atas kinerja pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun tersebut. Kegiatan penilaian kinerja dilakukan setiap tahun sebagai bagian dari proses pengembangan karir dan promosi guru untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya.

Di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Bab VI tentang Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, pasal 28 dijelaskan bahwa seorang guru harus memiliki sedikitnya empat kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi.[1]
Secara singkat keempat kompetensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengolah pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil bel ajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.[2]
Dengan demikian seorang guru pada dasarnya memiliki tugas yang sangat banyak, baik tugas yang berkaitan dengan dinas maupun tugas di luar dinas, yaitu dalam bentuk pengabdian, yang mana tugas tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis yakni tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Dalam bidang kemanusiaan, seorang guru harus menjadi orang tua kedua, guru harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apa pun yang diberikan hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Apabila seorang guru dalam berpenampilan saja sudah tidak menarik maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya. Para siswa yang menghadapi guru yang tidak menarik, maka mereka tidak dapat menerima pelajaran dengan maksimal.[3]
Tugas guru sebagai profesi, meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan para siswa. Tugas guru dalam kemasyarakatan yaitu untuk mencerdaskan dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara yang bermoral pancasila serta mencerdaskan bangsa Indonesia.
Kinerja guru merupakan kemampuan yang dihasilkan oleh guru dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya yaitu mendidik, mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi orang tua kedua dari anak didik, mencerdaskan dan menciptakan anak didik yang berkualitas. Istilah kinerja guru menunjukkan pada suatu keadaan di mana guru-guru di suatu sekolah secara sungguh-sungguh melakukan hal-hal yang terkait dengan tugas mendidik dan mengajar di sekolah. Kesungguhan kerja yang dimaksud terlihat dengan jelas dalam usaha merencanakan program mengajarnya dengan baik, teratur, disiplin masuk kelas untuk menyajikan materi pengajaran dan membimbing kegiatan belajar siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa dengan tertib/teratur serta setia dan taat menjalankan atau menyelesaikan kegiatan sekolah lainnya tepat waktu.
Seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi, saat ini terlihat jelas bahwa pihak pengelola pendidikan baik yang berada di tingkat pusat, daerah maupun pada level pelaksana di lapangan sedang terus melaksanakan berbagai upaya peningkatan kinerja guru. Tujuan utama peningkatan kinerja guru adalah untuk mewujudkan niat dan keinginan mencapai prestasi siswa yang berkualitas baik dalam rangka merealiasikan visi reformasi pendidikan, yaitu pendidikan harus menghasilkan manusia yang beriman, berakhlak mulia, cerdas serta manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.[4]
Kegiatan peningkatan kinerja guru dapat dilaksanakan melalui dua pendekatan yaitu kegiatan internal sekolah dan kegiatan eksternal sekolah.
Kegiatan internal sekolah mencakup
a.    Supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan para pengawas dari kantor Dinas Pendidikan setempat untuk meningkatkan kualitas guru.
b.    Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang direncanakan dan dilaksanakan secara teratur, terus-menerus dan berkelanjutan.
c.    Kepala sekolah melakukan kegiatan pengawasan yang berencana, efektif dan berkesinambungan.
d.    Kepala sekolah dapat memotivasi dan memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti kegiatan seminar atau lokakarya dan penataran dalam bidang yang terkait dengan keahlian guru yang bersangkutan dengan cara mendatangkan para ahli yang relevan.[5]
Sedangkan kegiatan eksternal sekolah dapat dilakukan di luar sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam mengajar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti kegiatan penataran dan pelatihan yang direncanakan secara baik, dilaksanakan di tingkat kabupaten atau kota, propinsi dan tingkat nasional untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru.

III.   Kriteria Evaluasi Kinerja Guru
Yang menjadi kriteria penilaian kinerja guru adalah kompetensi guru. Berdasarkan UU Sisdiknas Nomor 14 pasal 10 tentang guru dan dosen, disebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.[6]
1.    Kompetensi Pedagogik
Kompetensi ini meliputi pemahaman terhadap peserta didik, peencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:[7]
-       Pemahaman wawasan/landasan kependidikan
-       Pemahaman terhadap peserta didik
-       Pengembangan kurikulum / silabus
-       Perancangan pembelajaran
-       Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
-       Pemanfaatan teknologi pembelajaran
-       Evaluasi hasil belajar
-       Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

2.    Kompetensi Kepribadian
Dalam standar nasional pendidikan, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapakan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).[8]

3.    Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang kurangnya memiliki kompetensi untuk:[9]
-       Berkomunikasi secara lisan dan informasi secara fungsional
-       Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional
-       Bergaul efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik
-       Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar


4.    Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi, pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Adapun ruang lingkup kompetensi profesional sebagai berikut:[10]
-       Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan baik filosofis, psikologis, sosiologis, dan sebagainya.
-       Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik.
-       Mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggungjawabnya.
-       Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi.
-       Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang relevan.
-       Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran.
-       Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik.











IV.  Contoh Format Evaluasi Kinerja Guru


FORMAT EVALUASI KINERJA GURU

Nama Sekolah                                        : ……………………………………………………………..
Nama Guru                                              : ............................................................................................
Mengajar Kelas                                      : ............................................................................................
Mata Pelajaran                                       : ............................................................................................
Hari/Tanggal Supervisi                         : ............................................................................................
Jam Ke                                                     : ............................................................................................

ASPEK YANG DINILAI DAN CARA PENILAIAN
BOBOT
NILAI
KETERANGAN
Jumlah
S1
S2
A.     Kompetensi Pedagogik





a.     Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2
20



b.     Menguasai teori belajar dan prinsip–prinsip pembelajaran yang mendidik.
2



c.     Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
2



d.     Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
2



e.     Memanfaatkan teknolgi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran.
2



f.      Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
2



g.     Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
2



h.     Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
2



i.      Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
2



j.      Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
2





Jumlah =



B.    Kompetensi Kepribadian





a.     Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional indonesia.
2
10



b.     Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia , dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
2



c.     Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
2



d.     Menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.

2



e.     Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
2





Jumlah =



C.    Kompetensi Sosial





a.     Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
4
10



b.     Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat.
4



c.     Beradaptasi di tempat tugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
               
2





Jumlah =



D.    Kompetensi Profesional





a.     Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2
10



b.     Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
2



c.     Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
2



d.     Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif
2



e.     Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.
2





Jumlah =




Jumlah Nilai Riel
Jumlah Nilai Ideal
 
Kategori Penilaian: 90 s/d 100             = Sangat Baik Sekali
                              80 s/d 89    = Baik Sekali
                              60 s/d 79    = Baik
                              50 s/d 69    = Cukup
                              40 s/d 49    = Kurang
                              <40             = Kurang Sekali
 
 


Penilaian =                                  x 100

Hasil Penilaian = .................... x 100 = ............

Komentar / Saran ..........................................................................................................................................................................................
                                ...........................................................................................................................................................................................



                                                                                                                                               Manado, ...............................
                                      Mengetahui,
                                  Kepala Sekolah,                          Wakil Kepala Sekolah,                               Guru,




                         ................................................             ................................................          ...............................................
                         NIP. ........................................            NIP. ........................................         NIP. .......................................

Catatan:
........................................................................................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................................................................................

















V.   Evaluasi Proses Belajar Mengajar
Penilaian proses belajar-mengajar bertujuan agak berbeda dengan penilaian hasil belajar . Apabila penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada derajat penguasaan tujuan (Instruksional) oleh para siswa, maka tujuan penilaian  proses belajar mengajar lebih ditekankan pada perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar itu sendiri, terutama efisiensi, keefektifan, dan produktivitasnya. Beberapa di antaranya adalah: efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan instruksional, keefektifan dan relevansi bahan pengajaran, produktivitas kegiatan belajar mengajar, keefektifan sumber dan sarana pengajaran, keefektifan penilaian hasil dan proses belajar.
Sejalan dengan tujuan tersebut, dimensi penilaian proses belajar-mengajar berkenaan dengan komponen-komponen yang membentuk proses belajar mengajar dan keterkaitan atau hubungan diantara komponen-komponen tersebut. Komponen pengajaran sebagai dimensi penilaian proses belajar-mengajar setidak-tidaknya mencakup:[11]
1.    Tujuan pengajaran atau tujuan instruksional
Komponen tujuan instruksional meliputi aspek-aspek ruang lingkup tujuan, abilitas yang terkandung di dalamnya, rumusan tujuan, kesesuaian dengan kemampuan siswa, jumlah waktu yang tersedia untuk mencapainya, kesesuaiannya dengan kurikulum yang berlaku, keterlaksanaannya dalam pengajaran.
2.    Bahan pengajaran
Komponen Bahan pengajaran meliputi ruang lingkupnya, kesesuaian dengan tujuan, tingkat kesulitan bahan, kemudahan memperoleh dan mempelajarinya, daya gunanya bagi siswa, keterlaksanaan sesuai dengan waktu yang tersedia, sumber-sumber untuk mempelajarinya, cara mempelajarinya, kesinambungan bahan, relevansi bahan dengan kebutuhan siswa, prasyarat mempelajarinya.
3.    Kondisi siswa dan kegiatan belajarnya
Komponen siswa meliputi kemampuan prasyarat, minat dan perhatian, motivasi, sikap, cara belajar, kesulitan belajar, fasilitas belajar yang dimiliki, hubungan sosial dengan teman sekelas, masalah belajar yang dihadapi, karakteristik dan kepribadian, kebutuhan belajar, identitas siswa, dan keluarganya yang erat kaitannya dengan pendidikan di sekolah.
4.    Kondisi guru dan kegiatan mengajarnya
Komponen guru, yang meliputi penguasaan mata pelajaran, keterampilan mengajar, sikap keguruan, pengalaman mengajar, cara mengajar, cara menilai, kemauan mengembangkan profesinya, keterampilan berkomunikasi, kepribadian, kemauan dan kemampuan memberikan bantuan dan bimbingan kepada siswa, hubungan dengan siswa dan  rekan sejawatnya, penampilan dirinya, keterampilan lain yang diperlukan.
5.    Alat dan sumber belajar yang digunakan
Komponen alat dan sumber belajar yang meliputi jenis alat dan jumlahnya, daya guna, kemudahan pengadaannya, kelengkapannya, manfaatnya bagi siswa dan guru, cara menggunakannya.
6.    Teknik dan cara pelaksanaan penilaian
Komponen penilaian yang meliputi jenis alat penilaian yang digunakan, isi dan rumus pertanyaan, pemeriksaan dan interpretasinya, sistem penilaian yang digunakan, pelaksanaan penilaian, tindak lanjut hasil penilaian, pemanfaatan hasil penilaian, administrasi penilaian, tingkat kesulitan soal, validitas dan reliabilitas soal penilaian  (reliabilitas berkaitan dengan masalah kepercayaan), daya pembeda, frekuensi penilaian, dan perencanaan penilaian.




VI.  Kriteria Penilaian Proses Belajar Mengajar
Beberapa kriteria yang bisa digunakan dalam menilai proses belajar mengajar diantaranya:[12]
1.    Konsistensi kegiatan belajar mengajar dengan kurikulum
Dalam hal ini peran kurikulum sebagai acuan apa yang seharusnya dilaksanakan dalam proses belajar mengajar.
2.    Keterlaksanaannya oleh guru
Dalam hal ini adalah sejauh mana kegiatan dan program yang telah direncanakan dapat dilaksanakan oleh guru dan tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Dengan demikian apa yang direncanakan dapat dilaksanakan sebagaimana harusnya.
3.    Keterlaksanaannya oleh siswa
Dalam hal ini dinilai sejauh mana siswa melakukan kegiatan belajar sesuai dengan program yang telah ditentukan oleh guru tanpa mengalami hambatan dan kesulitan berarti.
4.    Motivasi belajar siswa
Keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari motivasi belajar yang ditunjukkan oleh para siswa pada saat melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
5.    Keefektifan para siswa dalam kegiatan belajar
Penilaian proses belajar mengajar terutama adalah melihat sejauh mana keefektifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar.
6.    Interaksi guru dengan siswa
Interaksi guru dengan siswa berkenaan dengan komunikasi atau hubungan timbal balik atau hubungan dua arah antara siswa dengan guru dan/ atau siswa dengan siswa dalam melakukan kegiatan belajar mengajar.
7.    Kemampuan atau keterampilan guru mengajar
Keterampilan atau kemampuan guru mengajar merupakan puncak keahlian guru yang profesional sebab merupakan semua kemampuan yang telah dimilikinya dalam hal bahan pengajaran, komunikasi dengan siswa, metode mengajar, dll.
8.    Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa
Salah satu keberhasilan proses belajar-mengajar dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

VII. Contoh Format Evaluasi Kinerja Guru dan PBM

FORMAT PENILAIAN PROSES BELAJAR MENGAJAR

Nama Sekolah                                        : ……………………………………………………………..
Nama Guru                                              : ............................................................................................
Mengajar Kelas                                      : ............................................................................................
Mata Pelajaran                                       : ............................................................................................
Hari/Tanggal Supervisi                         : ............................................................................................
Jam Ke                                                     : ............................................................................................

ASPEK YANG DINILAI DAN CARA PENILAIAN
BOBOT
NILAI
KETERANGAN
Jumlah
S1
S2
A.     Perangkat Pembelajaran





a.     Memiliki Kalender Pendidikan.
2
20



b.     Menyusun Program Tahunan.
4



c.     Menyusun Program Semester.
4



d.     Membuat Silabus.
4



e.     Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
6





Jumlah =



B.    KELENGKAPAN SKENARIO PEMBELAJARAN (RPP)





a.     Identitas Lengkap.
2
10



b.     Tercantum / Memuat SK, KD, Indikator dan Materi Pokok.
2



c.     Berisi Pengalaman Belajar / Langkah Mengajar, Sumber/Bahan/ Media Belajar.
2



d.     Ada Penilaian yang Terdiri Dari IKM, Bentuk Instrumen, dan Contoh Instrumen.
2



e.     Ada Kunci Jawaban dan Uraian Tugas Berikutnya.
2





Jumlah =



E.     KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR





I.      Pendahuluan / Motivasi





a.     Kegiatan Guru Memberikan Motivasi Kepada Siswa Tercantum/Diuraikan Pada Skenario / RPP.
2
10



b.     Motivasi Berupa Contoh atau Pertanyaan Untuk Menggali
2



                Informasi Sesuai Dengan Kompetensi.

c.     Dalam Memotivasi Dikemukakan Kompetensi yang Akan
2



                Dicapai Dalam Kegiatan Pembelajaran.
d.     Dalam Memotivasi Dikemukakan Life Skill yang Perlu Dimiliki
4



                dan Manfaatnya Dalam Kehidupan.


Jumlah =



II.     Kegiatan Inti





F.     Dalam Bentuk Klasikal:





a.     Guru Memasuki Kegiatan Inti Berkesinambungan Dengan
2
20



                Motivasi yang Telah Disampaikan.
b.     Kegiatan Inti Berpusat Pada Guru.
2



c.     Kegiatan Inti Melibatkan Siswa Untuk Menemukan Konsep
5



                Membangun / Mengkonstruksi Pengetahuan.
d.     Kegiatan Inti Sesuai dengan SK, KD, Indikator yang Ingin
5



                Dicapai dan Materi Pelajaran.
e.     Guru Memberikan Tugas Lanjutan Kepada Siswa Sesuai
6



                Dengan SK, KD dan Indikator.


Jumlah =



G.    Dalam Bentuk Diskusi / Kerja Kelompok





a.     Guru Telah Mengatur Pembagian Kelompok.
2
20



b.     Kegiatan Diskusi / Kerja Kelompok Mendapat Respon Positif
2



                Dari Siswa.
c.     Anggota Tiap Kelompok Berpartisipasi Aktif Dalam Diskusi /
5



                Kerja Kelompok.
d.     Kegiatan Diskusi/Kerja Kelompok Dilanjutkan Dengan Diskusi
5



                Kelas.
e.     Guru Menggunakan Lembar Penilaian Diskusi/Kerja Kelompok.
6





Jumlah =



III.    Sumber / Bahan / Media





a.     Sumber / Bahan / Media yang Digunakan Sesuai Dengan SK,
2
10



        KD, dan Indikator.
b.     Bahan / Media yang Disediakan Sesuai Dengan Kebutuhan
2



        Materi Pokok Pembelajaran.
c.     Menggunakan Bahan / Media Yang Otentik Dan Yang Ada Di
2



        Sekeliling Siswa.
d.     Bahan Yang Digunakan Mendorong Siswa Melakukan
4



        Pengamatan / Bertanya / Mengumpulkan Data Dan Menarik
        Kesimpulan.


Jumlah =



IV.   Penilaian





a.     Penilaian Dilakukan Sesuai Dengan IKM.
2
10



b.     Penilaian Relevan Dengan Kompetensi Dan Indikatornya.
2



c.     Penilaian Hanya Mengarah Pada Ranah Kognitif.
2



d.     Penilaian Mengarah Juga Pada Ranah Afektif Dan Psikomotor.
4





Jumlah =



V.    Penutup





A.     Dalam Bentuk Klasikal:





a.     Kegiatan Pembelajaran Sesuai Dengan Waktu Yang
2
10



                Direncanakan.
b.     Inti / Kesimpulan KBM Disimpulkan Oleh Guru.
2



c.     Inti / Kesimpulan KBM Disimpulkan Oleh Siswa.
2



d.     KBM Dilakukan Dengan Menggunakan Prinsip PAKEM.
4





Jumlah =



B.    Dalam Bentuk Diskusi / Kerja Kelompok





a.     Setiap Kelompok Menyampaikan Hasil Diskusi / Kerja
2
10



                Kelompok Di Depan Kelas.
b.     Hasil Diskusi / Kerja Kelompok Mendapat Respon Positif /
2



        Negatif Dari Kelompok Lain.
c.     Kesimpulan Hasil Diskusi / Kerja Kelompok Dilakukan Oleh
2



        Guru.
d.     Kesimpulan Hasil Diskusi / Kerja Kelompok Dilakukan Oleh
4



        Siswa Dengan Bimbingan Guru.


Jumlah =



Jumlah Nilai Riel
Jumlah Nilai Ideal
 
Kategori Penilaian: 90 s/d 100             = Sangat Baik Sekali
                              80 s/d 89    = Baik Sekali
                              60 s/d 79    = Baik
                              50 s/d 69    = Cukup
                              40 s/d 49    = Kurang
                              <40             = Kurang Sekali
 
Penilaian =                                  x 100

Hasil Penilaian = .................... x 100 = ............

Komentar / Saran ..........................................................................................................................................................................................
                                ...........................................................................................................................................................................................

                                                                                                                                               Manado, ...............................
                                      Mengetahui,
                                  Kepala Sekolah,                          Wakil Kepala Sekolah,                               Guru,




                         ................................................             ................................................          ...............................................
                         NIP. ........................................            NIP. ........................................         NIP. .......................................

Catatan:
........................................................................................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................................................................................
........................................................................................................................................................................................................................



III.   PENUTUP


Kesimpulan
Sistem evaluasi kinerja guru adalah sistem penilaian yang dirancang untuk mengidentifikasi kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya melalui pengukuran penguasaan kompetensi yang ditunjukkan dalam unjuk kerjanya. Yang menjadi kriteria penilaian kinerja guru adalah kompetensi guru. Yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Tujuan penilaian  proses belajar mengajar lebih ditekankan pada perbaikan dan pengoptimalan kegiatan belajar mengajar itu sendiri, terutama efisiensi, keefektifan, dan produktivitasnya. Beberapa di antaranya adalah: efisiensi dan keefektifan pencapaian tujuan instruksional, keefektifan dan relevansi bahan pengajaran, produktivitas kegiatan belajar mengajar, keefektifan sumber dan sarana pengajaran, keefektifan penilaian hasil dan proses belajar.



DAFTAR PUSTAKA

Asrorul Nilam. Membangun Profesionalitas Guru. Jakarta: ELSAS, 2006.
Bahan ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Sertifikasi Guru/ Pengawas dalam Jabatan, Surabaya: LPTK, 2011.
Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.
Nana Sudjana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001.
Sehertian. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan SDM. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Suharsimi Arikunto. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan: Edisi 2. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012.
Undang-undang Guru dan Dosen, Jakarta: Cemerlang, 2005.
Uzer Usman. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.




[1] Undang-undang Guru dan Dosen (Jakarta, Cemerlang: 2005), hlm.153.
[2] Bahan ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru Sertifikasi Guru / Pengawas dalam Jabatan, (Surabaya,: LPTK, 2011),hlm.6-7.
[3] M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya: 2003),
Cet.ke-15, hlm. 15.
[4] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2003), Cet. Ke-2, hlm.60
[5] Sehertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan SDM, (Rineka Cipta, Jakarta: 2000), Cet, ke- 3, hlm. 214
[6] Asrorul Nilam, Membangun Profesionalitas Guru,(Jakarta: ELSAS,2006), Cet ke 1, hlm: 162.
[7] E. Mulyasa, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru,(Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,2007),Cet ke-1,hlm: 117.
[8] E. Mulyasa, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru,(Bandung:PT.Remaja Rosdakarya,2007),Cet ke-1,hlm: 117.
[9] E.Mulyasa, Standar Kompetensi sertifikasi Guru, hlm127.
[10] E Mulyasa, Standar Kompetensi sertifikasi Guru, hlm. 135-136
[11] Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm: 57-58
[12] Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan: Edisi 2, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), hlm: 100.