PAPER
TEOLOGI AGAMA - AGAMA
“PERANAN AGAMA-AGAMA DALAM EKOLOGI”
DOSEN:
Yanice Janis, M.Si.Teol
Diusun Oleh:
Ferdinand Willy Sualang (1301051)
Kelas C, Semester VI, PAK
SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN NEGERI
(STAKN) MANADO
2016
I. PENDAHULUAN
Istilah ekologi pertama kali dimunculkan oleh Ernst Haeckel, seorang murid Darwin, tahun 1866, yang menunjuk pada keseluruhan organisme atau pola hubungan antar organisme dan lingkungannya. Kata ekologi berasal dari kata Yunani: oikos dan logos, yang secara harafiah berarti ‘rumah’ dan ‘pengetahuan’. Ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan tentang lingkungan hidup atau planet bumi ini sebagai keseluruhan. Bumi dianggap rumah tempat kediaman manusia dan seluruh mahluk dan benda fisik lainya.
Berbicara mengenai ekologi berhubungan erat dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup itu mencakup arti yang sangat luas, yang dapat diidentifikasikan sebagai kondisi, situasi, benda, makhluk hidup, ruang, alat dan perilaku manusia yang mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, kelangsungan seluruh isi planet bumi, termasuk manusia. Dengan demikian, kajian ekologi berarti mengetahui dari dalam dinamika-dinamika yang saling berhubungan, yang membentuk kehidupan seluruh rumah tangga dan persyaratan untuk hidup bersama. Tujuannya adalah untuk menghormati keutuhan ciptaan dan hidup harmonis berdampingan dengan alam. Dengan ekologi kita belajar memusatkan perhatian pada alam sebagai penyelidikan tentang seluruh hubungan dari makhluk hidup, baik dengan lingkungan organisnya maupun dengan lingkungan anorganisnya. Dengan ekologi pula kita mencari solusi untuk mencegah dan mengatasi kerusakan-kerusakan yang terjadi di bumi kita ini.
Semua makhluk hidup pasti mendambakan lingkungan hidup yang baik. Namun pada kenyatannya, sekarang ini banyak terjadi banyak terjadi kerusakan lingkungan. Menanggapi kerusakan lngkungan ini, agama-agama di dunia turut berpartisipasi untuk menaggulanginya. Oleh karena itu, di dalam paper ini akan dibahas mengenai “Peran Agama-agama dalam Ekologi”.
II. PEMBAHASAN
Peranan Agama-agama dalam Ekologi
A. Ekologi Menurut Perspektif Kristen
Pandangan Kristen tentang lingkungan sebaiknya bersifat teosentris. Allah adalah subyek dan realitas mutlak yang menjadi sumber satu-satunya dari alam semesta. Itulah pengakuan iman yang dikemukakan mengenai penciptaan langit dan bumi, yaitu Allah sebagai Pencipta. Oleh karena itu, fokus teologi bukan hanya pada relasi antara manusia dengan Allah. Teologi harus memposisikan manusia bukan hanya di hadapan Allah, melainkan juga di hadapan alam dan makhluk lannya, yang juga diakui sebagai ciptaan Allah.[1] Itulah sebabnya alam ini dengan seluruh isinya harus diperlakukan sebagai ciptaan Allah yang baik. Atas dasar itu, maka manusia harus menghargai dan memelihara alam ciptaan Allah.[2]
Cerita penciptaan memberitakan bahwa Allah menciptakan keteraturan dari kekacauan. Allah mengatur dunia dengan memisahkan terang dari gelap dan darat dari laut. Ia menciptakan seisi langit dan bumi dan memberi tempat kepada segala makhluk. Kemudian Allah menciptakan manusia untuk mengatur semuanya itu.[3] Hubungan antara manusia dan ciptaan berasal dari berkat Allah sesuai perintah dalam Kejadian 1:28 untuk “menaklukkan” bumi dan berkuasa atas semua makhluk hidup. Perintah untuk menaklukkan seolah-olah mengisyaratkan kekuasaan yang sangat kuat atas bumi untuk tujuan manusia. Akan tetapi, analisis eksegetis menunjukkan bahwa kata itu hanya menunjukkan pengusahaan bumi, bukan dorongan untuk memperlakukan semua makhluk hidup dengan kasar.[4]
Kerusakan lingkungan hidup atau krisis ekologis tidak dapat dilepaskan dari peran dan campur tangan manusia. Oleh karena itu, manusia harus menyadari bahwa manusia diciptakan Allah segambar dan serupa dengan Allah. Diciptakan segambar dan serupa dengan Allah berarti bahwa manusia hidup dalam relasi yang baik dengan Allah dan dengan ciptaan Allah lainnya. Arti segambar dan serupa dengan Allah dipahami dalam konteks tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk menguasai dan menaklukan serta mengusahakan dan memelihara alam atas nama Allah (Kejadian 1:26-28; 2:15). Artinya, manusia diberi wewenang oleh Allah untuk turut serta dalam karya Allah, yaitu sebagai mitra Allah dalam karya penciptaan berkelanjutan. Dalam panggilan itu, manusia melaksanakan tugas panggilan pemerintahan atas ciptaan lain untuk mengelola, memanfaatkan, dan memelihara alam untuk tujuan kesejahteraan dirinya, keharmonisan seluruh ciptaan dan untuk memuliakan Allah.[5]
Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban akan mendorong kita melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. Contohnya, manusia menghemat penggunaan sumber-sumber alam (hutan, air, mineral) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup yang lain secara berkesinambungan.[6]
B. Ekologi Menurut Persspektif Islam
Berkaitan dengan Ekologi, agama Islam mengajarkan mengenai akhlak terhadap makhluk lainnya dan alam semesta. Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa manusia harus memelihara, mengatur dan memakmurkan bumi (Qs. 2:30); dan manusia tidak boleh melakukan perbuatan merusak lingkungan (Qs. 30:41).[7] Tanda-tanda bahwa tradisi Islam benar-benar mendukung perhatian terhadap lingkungan masih dapat kita lihat. Menyisihkan tanah agar tidak digarap, sering kali digunakan untuk perlindungan satwa liar, merupakan tradisi Muslim kuno yang masi bisa dilihat di banyak negara Muslim. Lembaga-lembaga negara, seperti Meteorology and Environmental Protection Administration Arab Saudi, telah memutuskan untuk mendukung kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Islam mengenai perlindungan lingkungan. Sementara berkaitan dengan tema “The Environmental Aspects of Development”, Konferensi Menteri Arab mempertimbangkan iman islam dan nilai-nilainya dalam hubungannya dengan perhatian ekologis.[8]
Farid Esack, seorang pemikir muslim, menjelaskan mengenai sikap yang seharusnya dilakukan orang muslim terhadap lingkungan hidup. Menurut pandangannya, manusia adalah penjaga dan pengguna alam yang harus melindungi alam sesuai dengan perintah Allah. Menurutnya, “Allah sudah mempercayakan bumi kepada kita, sebagai amanah”.[9]
C. Ekologi Menurut Perspektif Buddha
Bertolak dari pemikiran Buddhadasa, rahib Santikaro Bhikkhu yang berasal dari Chicago memperkenalkan ajaran Buddha yang dinamakan Jalan Sosial Mulia. Dia mengajarkan tentang “ekologi yang benar”. Ia ingin agar tindakan ekologis atas sumber-sumber daya suatu daerah diatur dan dikontrol oleh masyarakat, karena masyarakat pedesaan biasanya mempunyai minat dan kepentingan mereka sendiri dalam melestarikan sarana dasar kehidupan mereka. Harus ada hutan-hutan di sekeliling sawah ladang yang dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat-masyarakat itu, dan di antara hutan-hutan itu harus ada ruang alami untuk menjaga kelestarian berbagai spesies. Tindakan ini tidak sekadar melindungi lingkungan hidup, lebih dari itu ia ingin menjaga kelestariannya demi angkatan-angkatan masa sekarang dan masa yang akan datang.[10]
D. Ekologi Menurut Perspektif Hindu
Sebagai agama rakyat, Hindu memiliki banyak tradisi. Namun makna lebih dalam dari semua tradisi itu terletak dalam hal menjaga kelestarian lingkungan alam dan penggunaannya secara terkendali oleh penduduk. Pohon-pohon dan pagar-pagar suci dikenal di seluruh India. Sungai-sungai disembah dan dipuja seperti dewa. Ritus-ritus harus dilakukan oleh seseorang yang akan memasuki hutan atau bagian alam yang dilindungi, misalnya Lembah Bunga di Pegunungan Himalaya. Hal ini menyatakan dengan jelas bahwa menurut pandangan Hindu, antara manusia dan alam secara kodrati merupakan unsur-unsur dalam suatu sistem yang tak terpisahkan.[11] Di dalam Atharva Veda dapat ditemukan pasal-pasal yang memuji bumi, sambil meminta kemurahan hatinya dan bersumpah untuk melundunginya. Ada juga teks yang berbunyi: Bumi adalah ibu, dan saya adalah anak dari bumi. Dalam kesadaran akan kelimpahan ibu bumi, Arharva Veda menyampaikan baik pujian akan kekuatan maupun jaminannya bahwa ia tidak akan diganggu oleh intervensi manusia.[12]
E. Ekologi Menurut Perspektif Konghucu
Di dalam Konfusianisme dari masa naskah klasik awal, dari Book of History, langit dan bumi telah disebut sebagai orang tua agung yang telah menyediakan hidup dan jaminan. Sebagaimana orang tua di dalam keluarga pantas mendapat penghormatan anak, demikian juga langit dan bumi. Jadi, kita diberitahu bahwa mereka tidak boleh dieksploitasi secara sembarangan oleh manusia.[13]
F. Kebersamaan Agama-agama dalam Menanggulangi Masalah Ekologi
Menanggapi masalah kerusakan ekologis yang terjadi secara global, agama-agama di dunia turut berperan serta untuk menanggulangi masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah terbentuknya dokumen Global Ethic yang merupakan Deklarasi Parlemen Agama-agama Dunia. Di dalam dokumen tersebut, di bawah sub judul “Komitmen pada sebuah budaya non kekerasan dan hormat pada kehidupan”, disebutkan bahwa: Pribadi manusia memiliki nilai yang tak terhingga, karena itu harus selalu dilindungi. Demikian juga dengan kehidupan binatang dan tumbuhan yang menghuni planet ini bersama kita, berhak mendapat perlindungan, pemeliharaan, dan kasih saying. Eksploitasi yang tanpa henti terhadap dasar-dasar alami kehidupan, penghancuran yang tidak benar atas biosfer, dan militerisasi kosmos, semuanya adalah kebiadaban. Sebagai manusia kita harus bertanggung jawab – khususnya kepada generasi yang akan datang- mengenai bumi dan kosmos, mengenai udara, air, dan tanah. Kita semua terikat bersama dalam kosmos ini dan kita saling bergantung satu sama lain. Masing-masing kita bergantung pada kesejahteraan semuanya. Oleh karena itu, dominasi manusia atas alam dan kosmos harus dilarang. Malah kita harus mengembangkan kehidupan dalam harmoni dengan alam dan kosmos.[14]
Dewan Gereja Dunia juga turut berpartisipasi dalam pelestarian bumi. Dalam dokumen yang berjudul Accelerated Climate Change: Sign of Peril, Test of Faith; disebutkan bahwa: dengan melihat penurunan kualitas sistem-sistem alamiah itu, kita mengetahui bahwa “kita harus merawat dengan sungguh-sungguh seluruh ciptaan, bukan demi kita sendiri saja, melainkan juga demi ciptaan itu sendiri dan Allah, karena Allah menciptakan dan mengasihi semua”. Kita harus melindungi habitat bumi ini sehingga dia akan menopang kehidupan anak-anak dari anak-anak kita, bersama-sama dengan kehidupan lainnya, ke masa depan yang tak terbatas.[15]
Di Indonesia, PGI juga telah turut serta memikirkan dan peduli terhadap alam ciptaan Allah. Dalam Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), pada butir yang kedua bagian B, mengenai pemahaman tentang penciptaan dan pemeliharaan, disebutkan bahwa “Allah memberi mandat kepada manusia untuk turut memelihara seluruh ciptaan Allah”.[16] Semua bangsa dan agama harus terlibat dalam tugas bersama menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan kemampuan planet ini. Kalau tugas ini tidak bisa dilakukan bersama, tidak bisa berhasil. “Kepedulian terhadap kesejahteraan planet ini adalah sesuatu yang diharapkan dapat membawa bangsa-bangsa (dan agama-agama) ke dalam suatu komunitas antar-bangsa (dan antar-agama)”.[17]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Peranan Agama-agama dalam Ekologi, saya simpulkan bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan untuk melestarikan alam. Agama Kristen mengajarkan manusia melaksanakan tugas panggilan pemerintahan atas ciptaan lain untuk mengelola, memanfaatkan, dan memelihara alam untuk tujuan kesejahteraan dirinya, keharmonisan seluruh ciptaan dan untuk memuliakan Allah. Agama Islam mengajarkan manusia diberi amanat manusia untuk memelihara, mengatur dan memakmurkan bumi serta tidak boleh melakukan perbuatan merusak lingkungan. Agama Hindu mengajarkan bahwa bumi adalah ibu dan manusia adalah anak, sehingga manusia harus menghormati dan menjaga kelestarian alam. Agama Buddha mengajarkan untuk menjaga lingkungan hidup demi angkatan-angkatan di masa yang akan datang. Agama Konghucu mengajarkan bahwa langit dan bumi adalah orang tua agung yang telah menyediakan hidup dan jaminan, yang pantas mendapat penghormatan dan dijaga kelestariannya.
Agama-agama di dunia turut berperan serta untuk menanggulangi masalah ekologis. Salah satu contohnya adalah terbentuknya dokumen Global Ethic yang isinya mengajak semua manusia untuk melestarikan lingkungan. DGD dan PGI juga mengajak umat Kristiani untuk memelihata seluruh ciptaan Allah.
B. Saran
Sebaiknya semua hasil konferensi para pemimpin agama di dunia yang berhubungan dengan ekologi disosialisasikan kepada pemeluk agama masing-masing. Ajaran agama untuk melestarikan lingkungan wajib diajarkan. Contohnya: pemimpin agama umat Kristiani mengajarkan bahwa Allah memberi mandat kepada manusia untuk turut memelihara seluruh ciptaan Allah (berdasarkan ayat Alkitab). Tujuan kita memelihara ciptaan Allah juga perlu dijelaskan, yaitu “supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu” (Ulangan 22:7).
DAFTAR PUSTAKA
Rasmussen, Larry. 2010. KOMUNITAS BUMI: ETIKA BUMI: Merawat Bumi Demi Kehidupan Yang Berkelanjutan Bagi Segenap Ciptaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Borrong, Robert. 2009. ETIKA BUMI BARU. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Samosir, Leonardus. 2010. AGAMA DENGAN DUA WAJAH: Refleksi Teologis Atas Tradisi Dalam Konteks. Jakarta: OBOR.
Sairin, Weinata. 2012. VISI GEREJA MEMASUKI MILENIUM BARU. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Daene-Drummond. 2006. TEOLOGI DAN EKOLOGI. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Brownlee, Malcolm. 2004. TUGAS MANUSIA DALAM DUNIA MILIK TUHAN: Dasar Theologis Bagi Pekerjaan Orang Kristen Dalam Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berndt, Hagen. 2006. AGAMA YANG BERTINDAK: Kesaksian Hidup Dari Berbagai Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.
Tucker & Grim. 2007. AGAMA, FILSAFAT, DAN LINGKUNGAN HIDUP. Yogyakarta: Kanisius.
Adiprasetya, Joas. 2009. MENCARI DASAR BERSAMA: Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Knitter, Paul. 2008. SATU BUMI BANYAK AGAMA: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Keputusan Sidang Raya XII PGI Jayapura, 21-30 Oktober 1994. 2002. LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bolotio, Rivai. 2016. Bahan Ajar Mata Kuliah Islamologi di Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Manado.
[1] Leonardus Samosir, Agama Dengan Dua Wajah (Jakarta: OBOR), hal. 152-153.
[2] Robert Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 216.
[3] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 40.
[4] Daene-Drummond, Teologi dan Ekologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 19.
[5] Robert Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 252.
[6] Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia). hal. 141.
[7] Rivai Bolotio, Bahan Ajar Islamologi di Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Manado, hal. 58.
[8] Tucker & Grim, Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius), hal. 113-114.
[9] Hagen Berndt, Agama Yang Bertindak (Yogyakarta: Kanisius), hal. 147.
[10] IBID, hal. 148-149.
[11] Hagen Berndt, Agama Yang Bertindak (Yogyakarta: Kanisius), hal. 149.
[12] Tucker & Grim, Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius), hal. 140-141.
[13] IBID, hal. 198.
[14] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 152.
[15] Larry Rasmussen, Komunitas Bumi: Etika Bumi: Merawat Bumi Demi Kehidupan Yang Berkelanjutan Bagi Segenap Ciptaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hal. 249-250.
[16] Keputusan Sidang Raya XII, Lima Dokumen Keesaan Gereja, hal. 153.
[17] Thomas Berry dalam Paul Kintter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK: Gunung Mulia), hal. 179-180.
No comments:
Post a Comment